Fintech P2P lending boleh mengakses IMEI handphone milik penggunanya, untuk apa?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku fintech peer to peer (P2P) lending kini bisa mengakses nomor identitas asli ponsel atau International Mobile Equipment Identity (IMEI). Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya mengizinkan para pelaku P2P lending untuk mengakses data mikrofon, kamera, dan lokasi.

Kini regulator telah merestui P2P Lending untuk mengakses IMEI pengguna platform baik pemberi pinjaman (lender) maupun peminjam (borrower). 

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyatakan akses ini memiliki peranan yang penting bagi industri fintech P2P lending di Indonesia. Ketua Harian AFPI Kuseryansyah mengaku menerima surat restu akses IMEI dari OJK ini pada Juni 2019 lalu.


“IMEI adalah suatu nomor identifikasi yang terdapat pada setiap gadget handphone. Jadi, akses mendapatkan IMEI dapat dilakukan bila diberikan persetujuan si pengguna atau pemilik gadget handphone,” ujar Tumbur kepada Kontan.co.id pada Senin (22/7).

Kusersyansyah menyatakan kunci keberhasilan keberadaan P2P ialah menggunakan alternatif data. Artinya tidak hanya mengandalkan data-data tradisional juga data lainnya untuk melakukan skor kredit (credit scoring).

“Memang OJK memiliki alasan pembatasan data, hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi. Yakni melindungi konsumen, namun ketika itu dibatasi maka machine learning dan artifial intelligence jadi lebih rendah. Sehingga ada risiko presisinya jadi ikut turun," katanya.

"Nah dari proses itu, kami dari asosiasi bagaimana caranya OJK diberikan keleluasaan sebagai nature-nya fintech menggunakan teknologi,” lanjut dia.

Dia bilang salah satu dukungan OJK adalah dibukanya akses IMEI. Ia menjelaskan di dalam IMEI ini ada informasi mengenai GSM dan GPS yang bisa menghindari penipuan (fraud). Ia mencontohkan bila seseorang mengaku tinggal di lokasi X maka dengan teknologi fintech bisa memahami perilaku terkait lokasi orang tersebut.

“Data IMEI yang lokasi maka dengan machine learning dan algoritma kita kita bisa mengetahui bahwa orang ini betul tinggal di sana dan bekerja di mana. Ini menjadi angin segar bagi kita. Kita akan terus minta keleluasaan, namun OJK meminta kita bisa mempertanggungjawabkan keleluasaan ini. Tahapnya sekarang masih sampai di situ,” jelas Kusersyansyah.

Ia menyatakan bila pemain fintech menyalahgunakan keleluasaan ini, maka OJK akan mencabut izin dan tanda daftar. Oleh sebab itu, Ia mengaku anggota AFPI terus memperbaiki sistem mereka dalam mengelola data. Kusersyansyah mengaku OJK masih akan membatasi beberapa data lain hingga Undang Undang Perlindungan Data Pribadi terbit.

Asal tahu saja, akumulasi pinjaman lewat fintech lending hingga Mei 2019 tercatat sebesar Rp 41,04 triliun. Nilai ini tumbuh 81,11% dibandingkan tahun lalu atau year to date (ytd) di 2018 sebesar Rp 22,66 triliun. Adapun fintech P2P yang terdaftar di OJK sebanyak 113 entitas, diantaranya baru ada tujuh entitas yang mendapatkan izin dari regulator.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi