Fluktuasi rupiah bikin pening emiten



JAKARTA. Rupiah terkapar melawan keperkasaan dollar AS. Di pasar spot, mata uang garuda melemah 0,55% ke Rp 12.614 per dollar AS. Sementara dari kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah melemah 0,922% ke Rp 12.598 per dollar AS.

Bagi para emiten nilai tukar dollar AS dan rupiah sudah terlewati. Sebab para emiten awalnya mematok di Rp 12.000 per dollar AS sebagai dasar perhitungan. 

Pergerakan rupiah yang volatile cukup mencemaskan bagi para emiten. Jika berlanjut, pergerakan rupiah yang labil ini bakal menggerus margin laba bersih para emiten.


Beberapa emiten yang bakal terpapar pelemahan rupiah diantaranya, emiten farmasi, semen dan emiten yang memiliki utang gede dalam dollar AS. Rasa cemas emiten sejatinya telah terasa dari nilai ekspansi yang membengkak.

PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) misalnya yang awalnya menganggarkan belanja modal US$ 250 juta untuk membangun pabrik Tuban II. Namun nilai tersebut naik jadi US$ 315 juta.

Kondisi yang sama dialami oleh PT Semen Indonesia Tbk (SMGR). Ahyanizzaman, Direktur Keuangan SMGR bilang dari kebutuhan pabrik di Rembang dan Indarung, eksposur dollar AS mencapai 20%. Tahun lalu, saat rupiah ada di Rp 11.036, nilai investasi dua pabrik tersebut rata-rata naik sekitar 20%.

Meski demikian beberapa perusahaan sudah mempunyai strategi meminimalisir dampak pelemahan rupiah. Pertama, dengan menambah porsi lindung nilai alias hedging. "Kami mengantisipasi untuk mengejar tambahan dari dollar AS dengan meningkatkan ekspor," kata Rusdi Rosman, Direktur KAEF.

Strategi lindung nilai juga dilakukan oleh PT Citilink Indonesia. Anak perusahan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) ini telah konversi 20%–30% dari total pendapatan dalam dollar AS. Citilink juga memakai dollar AS untuk membayar biaya operasional.

Kedua, emiten menaikkan harga jual untuk menekan penurunan margin laba. Ketiga, dengan efisiensi bisnis.

Meski cukup pesimis dengan pergerakan rupiah di awal tahun. Para emiten berharap rentang rupiah tak jauh dari Rp 12.500 per dollar AS. "Pergerakan Rp 12.000-Rp 12.500 masih bisa kami antisipasi," ujar Vidjongtius, Direktur PT Kalbe Farma Tbk.

Padahal menurut Hans Kwee, Vice-President Investment PT Quant Kapital Investama, menguatnya dollar AS masih berlanjut dalam  jangka panjang.

Sepanjang semester I tahun ini, Hans memperkirakan pasangan USD/IDR masih di Rp 13.000 per dolar AS.

Harapan rupiah bergerak stabil hanya terjadi di semester II dan apabila pemerintah berhasil menggenjot program infrastruktur. Tapi analis yakin, hedging yang dilakukan emiten akan berhasil mencegah penurunan margin.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana