Fokus aturan e-commerce, perlindungan konsumen



Anda tahu situs PolisiOnline.com? Ya, tak disangka-sangka, situs ini muncul terpicu oleh konsumen online yang tertipu. Begini yang terjadi jika industri sudah tumbuh sedemikian kompleks, namun regulasi terlambat dieksekusi. Bandingkan dengan Pemerintah Korea Selatan yang sigap meregulasi industri dengan 23 lebih aturan terkait e-commerce.

Erwan Saputra, pemilik PolisiOnline.com, pada tahun 2010 pernah tertipu saat membeli komputer pangku alias laptop seharga Rp 4 juta. Kata teman, ujar Erwan, itu barang dari black market. Waktu itu harga resmi laptop tersebut belasan juta rupiah. “Saya tawar dapet Rp 3,5 juta,” ujar Erwan.

Namun, setelah dia mentransfer uang Rp 3,5 juta, si penjual minta kiriman pulsa Rp 100.000. Lantas, minta lagi kiriman Rp 200.000 dengan alasan untuk mengurus barang yang tertahan di bea cukai. Sayang, hingga kini barang itu belum sampai ke tangan Erwan. “Total, saya rugi Rp 6 juta,” kenangnya.


Dari pengalaman itu, sejak tiga tahun lalu, Erwan membuat konsep PolisiOnline.com. Setelah menawarkan konsep ke berbagai pihak dan tidak ada yang menanggapi, akhirnya Erwan membuatnya sendiri tahun 2013. Dalam sehari, PolisiOnline.com memverifikasi setujuh situs. Hingga kini sudah ada daftar 3.000 situs online e-commerce di PolisiOnline.com.

Konsepnya sederhana. PolisiOnline.com akan memberitahu kualitas, kredibilitas, dan profile situs e-commerce ke publik. “Menurut saya, 99% akurat. Sampai sekarang, situs yang sudah kami verifikasi dan bersih, belum pernah ada yang menipu. Yang ada malah penipu yang mengontak kami agar situsnya dihapus dalam daftar situs penipu. Sampai-sampai mereka mau menyuap kami,” klaim Erwan.

Penipuan yang paling banyak terjadi, imbuh Erwan, masih di seputar gadget elektronik. Yang sekarang lagi marak adalah penjualan motor tanpa buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB). Si penjual menawarkan produk dengan sangat miring. Harga normal motor Suzuki Satria Rp 20 juta dibanderol cuma Rp 5 juta. “Pernah dalam waktu kurang dari seminggu, kami dapat 50 lebih situs penipuan. Situs ini dimiliki satu kelompok dan dikendalikan melalui satu email, tapi menggunakan 50 lebih nomor telepon seluler. Jadi, masing-masing situs punya kontak berbeda-beda,” cetus Erwan.

Mengapa Erwan tak lapor saja ke polisi? Males lapor, ujarnya enteng. Kalau lapor polisi, paling cuma bikin surat laporan, tapi tindak lanjutnya enggak ada. Kecuali, korban penipuan mencapai puluhan orang. Atau, yang menjadi korban masih keluarga polisi.

Tak ada jaminan Ketidakpuasan pembeli biasanya terjadi akibat ketidaksesuaian barang. Parahnya, ada penjual yang ogah menerima pengembalian barang. Atau, seperti Erwan. Barang sudah dipesan dan dibayar, tapi tak kunjung datang.

Mawadha Fatma Nizarti, 22 tahun, sering berbelanja online. Setiap bulan, dia belanja rata-rata Rp 1 juta. “Saya sudah komplain, tapi kata penjual barang sudah dikirim,” ujar dia.

Demikian pula Ringga Thafira, 28 tahun, yang sempat ingin membeli mobil bekas di sebuah situs classified. Si penjual menyuruh Ringga mengirim uang tanda jadi. Untunglah dia mengecek terlebih dahulu. “Ternyata itu penipuan. Mereka jual mobil di bawah harga pasaran tapi tempat jualan di situs berbeda-beda. Saran saya, mending ketemu tatap muka, cek barang, transaksinya bayar di tempat,” tegasnya.

Memulai bisnis online memang mudah sekali. Kalau tidak ketahuan aparat, bikin saja sebuah situs lalu mulailah mengunggah barang-barang atau mulai menawarkan jasa. Dengan modal tak sampai sejuta rupiah, Anda bisa mudah membuat sebuah situs online dan mulai berbisnis. Pertanyaannya, Anda berniat menjadi penipu atau tidak?

Nah, kata Erwan, di sinilah seharusnya peran aturan baru peraturan pemerintah yang kini masih berupa rancangan (RPP). Bukan hanya melindungi penjual alias penyelenggara perdagangan elektronik, tetapi juga terutama konsumen. “Karena untuk menipu, gampang banget. Cukup punya situs, email, dan nomor HP. Malah ada semacam jasa untuk membuatkan rekening bank (untuk mendukung bisnis penipuan online),” kata Erwan.

Cuma, Erwan berharap, pemerintah juga membantu konsumen korban penipuan. Dia berharap, lewat aturan barunya nanti, pemerintah jangan hanya mendata para pemain di bisnis online. Jika ada situs khusus yang berfungsi sebagai tempat pengaduan situs e-commerce nakal, juga akan sangat mendukung.

Plus, harus juga ada pengawasan transaksi pembayaran. Untuk perusahaan yang sudah sangat besar, jangan sampai duit-duit dari Indonesia mengalir ke luar negeri tanpa terdata. Apalagi, jika perusahaan-perusahaan itu sengaja “bersembunyi” dari kewajiban membayar pajak, timpal Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak.

Daniel Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia, mengusulkan, selain fokus pada konsumen, aturan pemerintah juga sebaiknya memajukan industri. Sebagai jalan tengah, Daniel usul, asosiasi alias idEA bisa menjadi lembaga yang menjalankan proses akreditasi. “Ini bukan sertifikasi,” katanya.

Lewat proses akreditasi, idEA bisa memilah-milah dan memberi tanda khusus bagi situs e-commerce yang berkredibilitas baik. Demikian sebaliknya, untuk situs-situs atau perusahaan yang kredibilitasnya diragukan tidak akan mempunyai tanda khusus. “Konsumen dapat melihat dengan jelas bahwa (mereka) perlu hati-hati terhadap situs e-commerce ini,” tegas Daniel. Mereka yang mengikuti prinsip KYC, lantas dimasukkan ke dalam situs “Daftar E-Commerce Terekomendasi”.

Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia.com William Tanuwijaya berpendapat, aturan baru tak akan menjamin e-commerce bebas dari penipuan. Sementara CEO Blanja.com Aulia Marinto justru melihat tidak ada hubungan antara KYC dan tanggungjawab pemerintah melindungi konsumen. “Bagaimana solusi ada pembeli tertipu di mal (offline)?” tanya Aulia.

Ya, bisa jadi tak ada jaminanmenghapus penipuan. Tapi, apa yang terjadi jika tidak ada regulasi yang mengatur industri?    

Laporan Utama Mingguan Kontan No. 40-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi