Fokus efisiensi, produsen batubara tak khawatir soal harga batubara sekarang



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Tren penurunan harga yang terefleksi dari Harga Batubara Acuan (HBA) yang sudah di bawah US$ 90 per ton di bulan April ini dirasa belum menjadi kendala sejumlah produsen batubara. Sejumlah emiten komoditas emas hitam ini masih belum mengubah target produksi dan penjualan maupun target pasar.

Head of Corporate Communications Adaro Energy Febriati Nadira mengungkapkan, pihaknya masih belum terpengaruh oleh tren penurunan harga. Saat ini, lanjut Nadira, Adaro masih melakukan produksi dan penjualan batubara sesuai dengan yang telah ditargetkan sepanjang tahun ini.

"Harga batubara kan memang nggak bisa diprediksi, jadi kita fokus efisiensi dan operational excellence. Jadi kita belum terpengaruh," ujarnya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (9/4).


Meski belum menyebutkan detailnya, tapi Nadira meyakinkan bahwa dalam tiga bulan awal di tahun ini, volume produksi batubara Adaro sesuai dengan yang ditargetkan. Adapun, sepanjang tahun ini Adaro membidik produksi antara 54-56 juta ton.

Nadira pun mengatakan, tren penurunan harga ini tidak mengganggu penjualan batubara Adaro. Sehingga, belum ada rencana untuk mengubah target pasar yang ingin disasar.

Apalagi, lanjut Nadira, pasar batubara Adaro sudah cukup terdiversifikasi. "Market kita saat ini sudah cukup terdiversifikasi. Jadi nggak akan nambah market baru juga," katanya.

Sebagai informasi, Adaro memasarkan sebesar 40% batubara miliknya ke pasar Asia Tenggara, termasuk 25% untuk pasokan dalam negeri. Sedangkan, China memiliki porsi 11%, India sebesar 14% dan negara di Asia Timur sebesar 30%.

Tak jauh beda, Bumi Resources sebagai induk usaha dari PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia, masih belum merasa terkendala oleh tren penurunan harga. Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan, tren penurunan harga ini tidak membuat perubahan pada target produksi yang dipatok di angka 88-90 juta ton. "Tidak ada perubahan sampai saat ini, KPC 60 juta ton, Arutmin 28-30 juta," ujarnya.

Kendati demikian, menurut Direktur Keuangan ABM Investama Adrian Erlangga, fluktuasi harga pasti tetap akan berdampak terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hanya saja, hal tersebut sudah diperhitungkan oleh perusahaan batubara, mengingat harga dari komoditas ini sangat sulit untuk diprediksi.

Sehingga, lanjut Adrian, perusahaan hanya bisa mengontrol biaya (cost) dengan melakukan efisiensi operasional. "Pengaruh sih pasti, kan harga naik, margin tinggi, harga rendah, margin jadi rendah. Yang bisa kita kontrol itu cost, dengan efisiensi," ungkapnya.

Adrian mengatakan, perusahaan semestinya telah mengantisipasi hal tersebut. Sebab, harga batubara tidak bisa dikontrol oleh perusahaan, melainkan bergantung pada supply dan demand pasar, serta kebijakan dari pemerintah, baik dalam negeri terkait dengan pengaturan kuota volume produksi, maupun kebijakan pemerintah di negara tujuan ekspor batubara Indonesia.

"Selain supply-demand , juga kebijakan pemerintah, soal kuota produksi, atau di China terkait pembatasan impor, atau di India yang membatasi kalori tertentu yang bisa masuk," jelasnya.

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengamini hal tersebut. Ia mengatakan, dengan porsi ekspor sekitar 50% ke China dan India, sangat rasional jika kebijakan dari kedua negara itu sangat sensitif terhadap pembentukan harga dan perkembangan bisnis batubara Indonesia.

Karenanya, Singgih menilai perlu ada diversifikasi pasar untuk ekspor batubara Indonesia yang selama ini didominasi oleh China dan India. Menurutnya, pasokan terhadap pasar batubara di Asia Tenggara perlu diperkuat, mengingat potensinya yang terus tumbuh hingga tahun 2030.

Apalagi, sambung Singgih, dengan posisi geografis, jarak dan kualitas batubara yang sesuai, emas hitam asal Indonesia ini akan sangat kompetitif untuk mendukung kebutuhan kelistrikan di kawasan ASEAN, khususnya Vietnam dan Malaysia.

Selain itu, Singgih juga menekankan pentingnya mencermati dinamika pasokan batubara. Menurutnya, tren harga yang terus menurun juga didorong oleh kondisi oversuplly yang ada di pasar.

"Jelas peran pemerintah atau ESDM mau tidak mau harus mengawasi langsung perjalanan keberadaan total produksi batubara nasional terhadap dampak harga" ungkapnya.

Hal senada juga dikemukan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Menurut Hendra, HBA yang terus menurun merupakan alarm untuk mengendalikan pasokan, yang juga berarti pengendalian produksi batubara di Indonesia.

"Ini memang alarm juga bagi kita bahwa pengendalian produksi sudah sangat penting, karena harga juga terbentuk dari supply," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini