JAKARTA. Pergerakan mayoritas mata uang Asia sepanjang tahun ini hingga Oktober perkasa atas dollar AS. Pada periode awal tahun hingga 25 Oktober 2012, won Korea Selatan menguat 5,26%, baht Thailand menguat 2,8%, dan dollar Taiwan menguat 3,7%. Penguatan juga terjadi pada ringgit Malaysia sebesar 4,3% dan dollar Singapura sebesar 6,18%. Namun, tidak demikian halnya dengan rupiah. Posisi mata uang Garuda ini semakin hari semakin tidak bertenanga. Pada periode yang sama, pelemahan rupiah mencapai 5,9%! Kondisi itu menyebabkan performa rupiah menjadi yang terburuk di antara mata uang Asia lainnya. Prediksi Bank Indonesia (BI) maupun sejumlah analis dan ekonom mengenai pergerakan rupiah tahun ini meleset. Padahal, pada awal tahun, BI memprediksi pair (USD/IDR) akan berada di kisaran 8.900-9.200 di sepanjang 2012. Para analis dan ekonom pada awal tahun 2012 juga memperkirakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan bergerak di kisaran Rp 8.400 – Rp 9.100 di tahun 2012. Prediksi tersebut didasarkan pada optimisme kenaikan peringkat Indonesia menjadi kategori
investment grade. Seperti yang diketahui, pada akhir tahun 2011, Fitch Rating memasukkan peringkat Indonesia dalam kategori
investment grade. Kondisi itu membuat para analis dan ekonomis yakin rupiah Indonesia akan bisa berjaya di tahun 2012.
Namun saat ini, rupiah sudah melemah menembus level psikologisnya di level 9.600. Mari kita lihat pergerakan rupiah dari awal tahun. Sepanjang tahun 2012 hingga 24 Oktober 2012, posisi terkuat rupiah tercipta pada 25 Januari di level 8.888. Namun, setelah itu, pergerakannya berfluktuatif tergantung sentimen yang mempengaruhi pasar mata uang dalam negeri.
- 30 Mei 2012: Rupiah berada di level 9.540 Rupiah
rebound dari level terlemah sejak November 2009. Otot rupiah agak menguat, setelah bank sentral menyatakan akan menawarkan
term deposit valas guna menggenjot suplai dollar di pasar. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menyebut, bank sentral akan menerima deposit 7 hari, 14 hari dan sebulan pada lelang mingguan. Ini memungkinkan perbankan lokal untuk membawa pulang kembali sekitar US$ 2 miliar per hari dari pasar
offshore.
- 4 Juli 2012: Rupiah berada di level 9.367 Rupiah menguat seiring spekulasi bahwa Bank Sentral Eropa & Amerika Serikat bakal mendongkrak perekonomian negaranya melalui stimulus pelonggaran moneter. Kondisi itu diyakini analis bakal menyokong penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah.
- 13 September 2012: Rupiah berada di level 9.599 Pergerakan rupiah kembali melemah terhadap dollar AS. Pelemahan rupiah terkait dengan aksi wait and see investor atas kemungkinan realisasi program quantitative easing tahap 3 (QE3) oleh the Federal Reserve. Pelaku pasar juga memperhatikan sentimen lain yang berasal dari domestik seperti penetapan suku bunga Bank Indonesia dan lelang Sertifikat Bank Indonesia 9 bulan dengan target dana Rp 20 triliun.
- 17 September 2012: Rupiah berada di level 9.464 Bersama dengan mata uang regional lainnya, rupiah menguat menembus ke bawah level psikologis Rp 9.500 per dollar AS. Rupiah perlahan-lahan menikmati optimisme pasar setelah peluncuran dana stimulus tahap ketiga Quantitative Easing tahap 3 (QE3).
- 11 Oktober 2012: Rupiah berada di level 9.643 Rupiah jatuh ke level terendahnya sejak 29 Oktober 2009. Pair USD/IDR, Kamis (11/10), ditutup menguat 0,42% di 9.634. Sedang kurs tengah dollar AS di Bank Indonesia (BI), kemarin, naik 0,05% menjadi Rp 9.603. Penguatan rupiah disebabkan oleh kenaikan permintaan dollar AS dari para importir. Rupiah makin terpojok karena BI tidak turun tangan di pasar. Pergerakan rupiah juga dipengaruhi oleh penurunan rating Spanyol menjadi BBB- oleh Standard's & Poor's (S&P). Pada akhir pekan lalu (25/10), rupiah ditutup pada level 9.617 per dollar AS. Mengapa rupiah loyo?Menurut Ali Setiawan,
Head of Global Market The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC), pelemahan rupiah tidak serta merta terjadi karena fundamental Indonesia yang jelek. "Pelemahan rupiah sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di global dan regional, terutama China," jelasnya. Berikut adalah rangkuman faktor-faktor yang menyebabkan pelemahan rupiah berdasarkan hasil wawancara KONTAN kepada sejumlah analis:1. Permintaan dollar tinggiPengamat menilai, permintaan dollar AS yang masih tinggi sampai akhir tahun bakal memberatkan laju rupiah. Kondisi tersebut membuat pergerakan rupiah tidak lagi semata-mata dipengaruhi sentimen pasar, melainkan sudah masuk ke aspek fundamental, yakni masalah struktural dalam neraca perdagangan. Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti, inilah yang membuat pelemahan rupiah tidak bisa dengan seketika berbalik arah.“Kalau sentimen pasar sifatnya sesaat. Begitu ada informasi positif, bisa dikoreksi lalu posisinya berbalik. Kalau struktural tidak bisa
swing,” kata Destry.
Dealer Valas Bank Rakyat Indonesia (BRI), Putu Andi Wijaya menambahkan, masalah nilai tukar adalah tentang keseimbangan
demand dan
supply. "Jika di suatu negara memerlukan dollar AS yang banyak untuk pembangunan, maka mata uangnya bakal lebih terdorong turun, " jelas Putu. Jadi adalah wajar jika saat mata uang Asia lain sudah bangkit, mata uang domestik masih terus terdepresiasi.2. Ekspor melambat, impor meningkatSejumlah analis yang diwawancarai KONTAN sepakat, salah satu penyebab pelemahan rupiah adalah masalah defisit neraca perdagangan Indonesia. Seperti yang diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit perdagangan mencapai US$ 176,5 juta pada kuartal II 2012. Pada Juli lalu, data BPS menunjukkan nilai ekspor Indonesia mencapai sebesar US$ 16,15 miliar. Sementara, nilai impor sebesar US$ 16,33 miliar. Sedangkan berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), pada kuartal II tahun ini defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$ 6,9 miliar (3,1% dari PDB). Angka ini naik ketimbang kuartal I yang sebesar US$ 3,2 miliar (1,5% dari PDB). Nah, pada akhir tahun ini, BI meramal defisit transaksi berjalan diperkirakan masih akan ada di kisaran 2% dari PDB.“Impor kita tetap naik sementara ekspor melambat. Kebutuhan dollar untuk impor jauh lebih besar daripada ketersediaan dollar dari ekspor,” jelas Destry.Hal senada juga diungkapkan oleh Ali. Dia menjelaskan, perlambatan ekspor serta kenaikan tingkat impor barang baku menjadi faktor utama melesatnya permintaan atas dollar AS. "Perekonomian Indonesia cukup tergantung dengan ekspor bahan baku, terutama batubara. Masalahnya, perlambatan ekonomi global memangkas permintaan bahan baku," jelasnya.3. Krisis utang Eropa yang semakin memburukPengamat Valas Mochammad Doddy Ariefianto menjelaskan, kondisi rupiah yang sedang dalam tekanan saat ini masih berkaitan dengan krisis utang Eropa yang belum juga terlihat tanda-tanda membaik. Ekonomi Eropa yang masih tertekan turut menyeret kejatuhan posisi mata uang euro. Sebaliknya, dollar AS semakin perkasa. Meski sejumlah bank sentral global mulai dari Amerika, Eropa, Jepang, hingga China ramai-ramai menggelontorkan stimulus untuk mengatasi ekonominya, namun dampak aksi bersama tersebut belum akan dirasakan saat ini. "Efek dari penanggulangan masalah moneter ini, baru akan terasa awal semester kedua tahun depan, rupiah bisa menguat ke 9.300. tapi untuk tahun ini masih sulit," jelas Doddy kepada KONTAN, Selasa (23/10).Putu juga sepakat mengenai hal itu. Menurutnya, faktor yang meruntuhkan nilai rupiah selama ini adalah meningkatnya keengganan dalam mengambil risiko
(risk aversion) oleh investor akibat masalah Eropa.
Pengamat Valas Mochammad Doddy Ariefianto menjelaskan, kondisi rupiah yang sedang dalam tekanan saat ini masih berkaitan dengan krisis utang Eropa yang belum juga terlihat tanda-tanda membaik. Ekonomi Eropa yang masih tertekan turut menyeret kejatuhan posisi mata uang euro. Sebaliknya, dollar AS semakin perkasa. Meski sejumlah bank sentral global mulai dari Amerika, Eropa, Jepang, hingga China ramai-ramai menggelontorkan stimulus untuk mengatasi ekonominya, namun dampak aksi bersama tersebut belum akan dirasakan saat ini. "Efek dari penanggulangan masalah moneter ini, baru akan terasa awal semester kedua tahun depan, rupiah bisa menguat ke 9.300. tapi untuk tahun ini masih sulit," jelas Doddy kepada KONTAN, Selasa (23/10). Putu juga sepakat mengenai hal itu. Menurutnya, faktor yang meruntuhkan nilai rupiah selama ini adalah meningkatnya keengganan dalam mengambil risiko (risk aversion) oleh investor akibat masalah Eropa. Masih dalam level wajar Meski performa rupiah merupakan yang terburuk di kawasan regional, namun, analis menilai pelemahan rupiah hingga ke posisi 9.600 pada saat ini masih berada dalam tahapan wajar. Hal ini terlihat dari langkah BI yang belum melakukan intervensi pada pasar mata uang. "Otoritas moneter tentunya sudah memperhitungkan batas wajar bagi pelemahan rupiah," tambah Putu.Destry berpendapat, permasalahan yang dihadapi rupiah sudah menyentuh masalah struktural. Itu sebabnya, meskipun BI menambah pasokan dollar di pasar mata uang, permasalahan masih akan tetap ada. “Tinggal sekarang BI menjaga volatilitas rupiah supaya tidak mengganggu keyakinan pasar. Suplai dollar tetap ada, tetapi BI juga membiarkan depresiasi secara terbatas dengan melepas dollar,” lanjut Destry.Untuk kembali mendongkrak rupiah, Destry menilai perlunya memperbesar Foreign Direct Investment (FDI). Tujuannya adalah untuk menjaga suplai dollar AS dalam jangka panjang. Begitupula dengan investasi portofolio di instrumen surat utang.Kepala Riset Divisi Treasury, Bank Negara Indonesia (BNI) Nurul Etti Nurbaeti menambahkan, dorongan untuk rupiah juga bisa dilakukan melalui lelang Surat Utang Negara. Ia mencontohkan lelang SUN pada 23 Oktober lalu yang memperoleh penawaran sebesar Rp 17 triliun dari target Rp 6 triliun. “Ini beri sentimen positif kepada pergerakan rupiah,” jelasnya. Rupiah akhir tahun Pendapat analis mengenai pergerakan rupiah hingga akhir tahun terbelah. Ada analis yang memprediksi posisi mata uang Garuda masih akan tertekan. Namun, ada pula analis yang optimistis rupiah masih bisa bangkit. Nurul berpendapat, hingga akhir tahun ini rupiah masih dibayangi pelemahan. Ini karena perilaku pelaku pasar kemungkinan belum stabil seiring masih belum kondusifnya perekonomian Eropa. Hal lain yang bisa menstimulus rupiah adalah berubahnya defisit perdagangan menjadi surplus. “Ekspektasi pelaku pasar akan positif,” ungkap Nurul.Nurul memproyeksi rupiah pada akhir tahun ini bisa bergerak di level Rp 9.400- Rp 9.600 per dollar AS.
“Jika masalah Eropa mendapatkan jalan terang, ada kemungkinan rupiah bisa menguat dan investor mulai melepas safe haven," papar Dealer Valas Bank Rakyat Indonesia (BRI), Putu Andi Wijaya.
Sementara itu, Destry memperkirakan rupiah bisa bertengger di level 9.670 per dollar AS. Tahun 2013, angkanya belum terlalu jauh berubah. “Kalau untuk tahun depan, saya masih prediksi di kisaran Rp 9.500-Rp9.600 per dollar AS,” jelas Destry. Sedangkan Doddy memprediksi, sampai akhir tahun ini, ada peluang rupiah bisa anjlok hingga ke level 9.700 . Dia bilang, masalah utama rupiah terletak pada defisit neraca berjalan. Dengan melihat perkembangan terkini, Doddy memprediksi, defisit neraca berjalan hingga akhir tahun akan sebesar 2,1% dari PDB. "Kondisi perekonomian saat ini sedang menurun, sehingga menggiring aset beresiko, termasuk rupiah," ujar Doddy. Ali juga tampak pesimistis terhadap langkah rupiah. Pada awal tahun 2012, HSBC sudah meramal pergerakan rupiah akan tertekan hingga ke level 9.800. "Saya rasa hal itu bisa terjadi menjelang akhir tahun nanti," ungkapnya. Berbeda dengan analis lainnya, Putu masih optimistis rupiah bisa menguat ke level 9.400 pada akhir 2012. “Jika masalah Eropa mendapatkan jalan terang, ada kemungkinan rupiah bisa menguat dan investor mulai melepas safe haven," papar Putu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie