Food Estate dan Pertahanan Negara



KONTAN.CO.ID - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mendapat tugas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggarap proyek lumbung pangan nasional (food estate). Food estate sebagai cadangan logistik strategis untuk pertahanan negara berfungsi membantu Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Perum Bulog. Selain itu, food estate juga sebagai pusat produksi cadangan pangan dari tanah milik negara, penyimpanan dan distribusi cadangan pangan ke seluruh Indonesia.

Tanaman-tanaman seperti jagung, singkong, dan tak lupa beras, memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan ekonomi sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional. Cadangan pangan ini sudah menjadi bagian penting bagi negara seperti Indonesia.

Lahan yang akan digunakan untuk pengembangan kawasan food estate yakni di Kalimantan Tengah (Kalteng). Kawasan tersebut akan dikembangkan sebagai pusat pertanian pangan, dan sebagai cadangan logistik strategis pertahanan negara. Bila suatu saat nanti, dalam kondisi tertentu bangsa kita kekurangan pasokan pangan, maka cadangan pangan yang sudah dikembangkan dan dipersiapkan di food estate Kalteng siap mendistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.


Mengapa Indonesia penting menjadi negara food estate? Selain negara kepulauan, Indonesia pun sebagian besar menjadi negara yang berbasis pertanian. Lagi pula, bangsa kita lazimnya tak mengkonsumsi roti, daging atau susu seperti orang-orang Eropa, melainkan makan beras, singkong, jagung dan sebagaimana yang kita konsumsi sehari-hari. Dalam kasus beras sebagai salah satu bahan pokok untuk konsumsi nasional, misalnya, stok beras nasional yag ada di Bulog seperti kita tahu seringkali melakukan impor.

Jika sampai terjadi kelangkaan beras, maka harganya secara otomatis melonjak. Bank Dunia (World Bank) memang sempat merilis kenaikan harga beras di negara dunia ketiga dan bisa menjadi pemicu atau faktor kemiskinan.

Analisis Bank Dunia sebetulnya memberi cambuk pada pemerintah. Sebaliknya produksi pangan nasional seperti beras dan sebagainya secara kultural di masyarakat perlu digalakkan serta harus dibangun secara kuat dan mapan.

Jawaharlal Nehru, mantan Perdana Menteri India pernah berkata, segalanya bisa menunggu, kecuali pertanian. Karena jika tidak bertani orang tak bisa makan. Falsafah ini juga menunjukan bahwa pertanian merupakan persoalan kultural yang mendasar.

Falsafah ini senada dengan pernyataan Presiden Soekarno, bahwa bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang mandiri oleh karenanya harus berdikari. Penting bagi kita untuk merevitalisasi serta menangkap semangat para pemimpin masa lalu untuk diimplementasi dalam kondisi bangsa kita sekarang.

Bagaimanapun masyarakat kita sebagian besar tak makan roti, keju dan daging sebagai menu makanan utama, melainkan makan nasi dan lauk-pauk. Untuk itu, ketika pemerintah melihat dunia pertanian perlu mendapat sokongan serius, maka para petani perlu dibantu dengan seoptimal mungkin, sehingga produksi pangan nasional pada akhirnya bisa mengalami swasembada.

Dalam teori perencanaan ekonomi (economic planning), Pat Devine dalam karya Democracy and Economic Planning: The Political Economy of a Self -governing Society (1995), dikatakan bahwa pembangunan produksi ekonomi masyarakat harus melibatkan berbagai kelompok, tak hanya pemerintah tetapi petani itu sendiri, juga pihak swasta, kelompok-kelompok yang meregulasikan ekonomi, dan juga konsumen masyarakat luas.

Semua kelompok ini membicarakan, mendefinisikan, memecahkan kebuntuan dan memberi solusi tentang cara produksi. Kelompok-kelompok ini merupakan struktur dan pondasi kekuatan yang mengandung alat-alat produksi, yaitu perangkat modal, input-input material dalam pembangunan ekonomi, konsumen, serta para petani yang dipergunakan sebagai inti dalam proses ketenagakerjaan (labour process) dalam membentuk suatu industri pertanian.

Belajar dari India

Di India yang merupakan salah satu negara pengekspor beras terbesar di dunia yang hingga 3,9 juta ton per tahun telah memperhatikan persoalan-persoalan mendasar dalam ekonomi kultural tersebut.

Sebagai bukti kesungguhan tersebut, Pemerintah India sejak tahun 1965 membuat sebuah program apa yang dinamakan All India Coordinated Rice Improvement Project, yakni pemerintah memfasilitasi pengembangan penelitian benih dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan beras.

Bentuk kepedulian Pemerintah India lainnya adalah adanya satu kota di India yang menjadi kawasan riset pertanian yaitu di Pusa, New Delhi.

Pusat riset penelitian ini derajatnya sama dengan pusat-pusat riset lainnya, seperti di bidang pendidikan, teknologi, dan lainnya. Lewat pusat riset ini India termasuk negara yang produktif menghasilkan para pakar di bidang pertanian.

Perkembangan di India terkini, negara tersebut sudah sanggup memproduksi padi sampai sekitar 128 juta ton per tahun, belum cukup hingga di situ, negara ini masih terus berupaya meningkatkan produksi padinya, berbagai cara dilakukan supaya produksi padi terus meningkat. Saat ini di India tergolong progresif mengembangkan padi Hybrida, luas lahan yang sudah menggunakan padi itu mencapai sekitar 1,2 juta hektare dari 44 juta hektare tanah yang ada.

Hal ini menandakan bahwa produksi padi di India sangat progresif, karena padi yang digunakan sebagai benihnya adalah padi Hybrida. Sementara penggunaan padi tersebut di Indonesia tergolong sangat ketinggalan dan tingkatan progresivitasnya tidak begitu memadai dibandingkan dengan India. Dari sudut pandang tersebut, penggunaan padi Hybrida di Indonesia sangat ketinggalan dan tidak progresif, sekali lagi hal ini terjadi karena kurangnya dukungan dari pemerintah dan pihak-pihak swasta untuk bersama-sama mengembangkan produksi utama menu makanan Indonesia ini. Sementara pemerintah India sangat gencar dan progresif dalam memperhatikan perkembangan di dunia pertanian, sehingga iklim pertaniannya sangat maju.

Falsafah bangsa ini mengatakan bahwa negara ini adalah negara agraris dan satu lagi bahwa bangsa ini adalah bangsa pelaut oleh karena negara kepulauan (Archipelago State). Bukankah dari hasil laut ini pula, bangsa ini bisa makan lauk pauknya?,

Alhasil, dari dua sumber itulah sesungguhnya food estate di Indonesia sudah harus bersinergi.

Penulis : Ismatillah A Nu'ad

Peneliti Indonesian Institutte for Social Research and Development Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti