KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah ancaman krisis pangan dan mahalnya harga pangan, penduduk Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yang menghasilkan sampah makanan terbesar di dunia. Di sisi lain, Indonesia berada di peringkat ke-70 dari 117 negara yang mengalami kelaparan parah. Mengutip World Population Review, Indonesia menempati posisi ke-73 negara termiskin di dunia. Melansir dari Laporan Kajian
Food Loss and Waste di Indonesia (2021), hasil riset kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas, Waste4Change, dan World Resource Institute memberikan proyeksi nilai kehilangan ekonomi di tahap
food loss (pangan yang terbuang pada tahap produksi, pascapanen/penyimpanan, dan pemrosesan/pengemasan) sekitar Rp 106 triliun sampai Rp 205 triliun per tahun.
Baca Juga: Uni Eropa Ingatkan Program Makan Siang Gratis Tak Menambah Timbunan Sampah Makanan Adapun nilai kehilangan ekonomi pada tahap
food waste (pangan yang terbuang pada tahap distribusi/pemasaran dan sisa konsumsi) berkisar antara Rp 107 triliun sampai Rp 346 triliun per tahun. Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, jika ingin mengatasi sampah makanan, maka yang harus menjadi prioritas penanganan adalah
food loss, karena kontribusi dari
food waste di Indonesia terbilang kecil yakni 13% dari total sampah makanan. "
Food loss ini banyak disumbang dari sektor pangan atau pertanian akibat pasca panen yang buruk, sistem penyimpanan dan distribusi produk pertanian yang kurang baik," katanya saat berbincang dengan KONTAN, Senin (29/7/2024). Akibat pasca panen yang tidak baik, maka banyak hasil panen pertanian yang tidak tahan lama akhirnya rusak atau busuk, sehingga berujung jadi limbah. Sebagai contoh, untuk petani buah-buahan dan sayur akan terkendala jarak dan waktu, jika jaraknya jauh proses pengantaran akan lebih lama, petani jadi khawatir barangnya tidak awet dan malah bisa berakhir busuk di konsumen.
Baca Juga: Kiprah East Ventures Menggelontorkan Pendanaan untuk Startup Iklim Tak pelak, harga jual akan jadi turun. "Proses distribusi logistik dan penyimpanan yang tidak baik juga menyebabkan kualitas pangan menjadi rusak yang akhirnya terbuang," terang Dwi. Menurut dia, berbeda dengan di negara maju, proses pasca panen, distribusi dan penyimpanan yang telah memanfaatkan teknologi, maka potensi
food loss sangat kecil bahkan bisa dibilang bisa diminimalisasi guna mencegah kerugian. "Berbeda dengan Indonesia, kondisi petani yang tidak sejahtera dan harga pangan yang murah, membuat hasil panen banyak berakhir menjadi sampah akibat proses pasca panen, pengolahan, penyimpanan dan distribusi yang masih buruk," paparnya. Atas dasar itu, Dwi bilang, salah satu cara untuk mengurangi angka
food loss di sektor pertanian adalah dengan meningkatkan kesejahteraan petani. Caranya, bantu kebutuhan petani dan fasilitasi pengembangan teknologi pertanian.
Baca Juga: Program Senyuman Ramadan Super Indo Berkolaborasi Foodbank of Indonesia & Pemasok "Kemudian, ciptakan harga komoditas pertanian yang adil bagi petani. Dengan harga hasil pertanian yang murah, sulit bagi petani untuk bisa sejahtera," kritik Dwi. Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo menyatakan saat ini Indonesia memiliki tingkat kehilangan atau pemborosan pangan (food loss and waste) hingga mencapai 31%. Oleh karena itu, gerakan setop boros pangan sedang dikampanyekan untuk menekan angka tersebut. "Setop boros pangan! Kami sedang kampanye setop boros pangan.
Food loss and waste Indonesia itu kurang lebih
losses-nya 14%,
waste-nya 17%, jadi 31% sehingga Bapanas menginisiasi untuk menurunkan
food loss and waste," kata Arief dalam acara Festival Pangan Nusantara di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (28/7/2024). Yang terang, Arief menambahkan, untuk menuju ketahanan pangan, Indonesia tidak hanya perlu meningkatkan produksi pangan, tetapi juga harus berperilaku ramah makanan.
Sejatinya, selain pemborosan, sampah makanan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Baca Juga: DBS Foundation Hibahkan Rp8,2 Miliar bagi Empat Organisasi asal Indonesia Bappenas mencatat, total potensi dampak pemanasan global yang dihasilkan dari
food loss and waste di Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Mton CO2-ekuivalen atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi gas rumah kaca di Indonesia selama 20 tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli