KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi organisasi nirlaba Forests and Finance merilis data terbarunya soal pembiayaan korporat di seluruh dunia yang dinilai berisiko merusak hutan. Data Forests and Finance menyatakan, investor secara global menyimpan dana US$ 41,5 miliar dalam bentuk obligasi dan saham yang merisikokan hutan, per 2021. Sejak Perjanjian Paris atau Paris Agreement pada tahun 2015 hingga tahun 2020, perbankan global telah menggelontorkan kredit sebesar US$ 238 miliar untuk 186 perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan di seluruh dunia. Untuk level Asia Tenggara, menurut Forest and Finance, nilainya mencapai US$ 26,6 miliar. Investornya adalah Pemerintah Malaysia, manajer aset Amerika Serikat, dana pensiun Jepang dan Korea Selatan, Singapura, serta Hong Kong.
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Edi Sutrisno menjelaskan, saat ini deforestasi di Indonesia masih belum berhenti, meskipun angkanya sedikit berkurang. Lembaga jasa keuangan masih bersedia mengucurkan dananya tanpa
due diligence yang serius.
Baca Juga: BCA: Peluang Pembiayaan ke Sektor Ekonomi Hijau di 2022 Masih Terbuka Kata Edi, Pemerintah Indonesia mencanangkan konsep green economy. Kita punya taksonomi hijau yang baru saja diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, sejauh ini, indeks ESG (Environmental, Social, and Governance) Indonesia belum naik. "Sehingga kita belum terlalu yakin investasi hijau akan masuk Indonesia, ini tantangan bagi kita semua. Kita tidak bisa mengatakan hentikan pembiyaan, karena pembangunan butuh pembiayaan, tapi kita juga tidak mau ada pembiyaan yang merisikokan ruang-ruang hidup,” kata Edi Sutrisno dalam briefing Koalisi Forests and Finance Jakarta, Jum’at (1/4) Pada kesempatan yang sama Prof. Hariadi Kartodihardjo dari IPB University menegaskan perlunya menerapkan nilai finansial dari seluruh dampak kegiatan terhadap lingkungan dan sosial. Karena itu kelayakan transaksi keuangan harus didasarkan pada nilai finansial dampak tersebut. Dia menambahkan, bila faktor lingkungan sosial dan tata kelola (LST) dimasukkan, persoalan akan timbul karena penilaian dampak LST tidak berada di ruang di mana transaksi keuangan terjadi. Dampak itu berada dalam ruang dan waktu tertentu yang menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dampak LST juga tidak bisa hanya dicirikan oleh bentuk dan sifat kegiatan usaha, namun juga oleh kondisi lingkungan dan sosialnya. “Konsekuensinya, dalam bisnis lingkungan berkelanjutan, seluruh pihak yang bertransaksi tidak boleh melarikan diri dari nilai dampak yang terjadi itu,” tegas Hariadi. Sementara, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali menyatakan, dalam perjanjian pembiayaan antara lembaga jasa keuangan (LJK) dengan korporasi, berlaku asas pacta sunt servanda. Ini juga yang mendasari kerahasiaan bank. Saat publik memprotes dananya ikut dipakai membiayai perusakan hutan, bank berlindung dengan dalih kerahasiaan bank.
Lebih lanjut, Ali menjelaskan, bank seperti tidak melakukan evaluasi atau koreksi pembiayaan pada korporasi yang telah divonis kasusnya, seperti korupsi, pembakaran atau perusakan hutan. Pun saat pemerintah melakukan evaluasi perizinan termasuk izin lingkungan yang menjadi syarat pengajuan kredit, bank tak segera mengadopsi perkembangan kebijakan ini untuk dijadikan syarat kredit, termasuk kredit yang berdampak pada perubahan iklim. “Bank mesti segera mengevaluasi semua kredit yang berdampak negatif pada hutan dan lingkungan hidup, memperbarui syarat pemberian kredit yang memasukkan bukan saja Amdal, tapi lingkungan sosial dan tata kelola yang mengedepankan kepentingan publik atas hak lingkungan hidup yang sehat sebagai hak asasi manusia,” imbuh Ali.
Baca Juga: Sri Mulyani Tekankan Prinsip ESG Dalam Pembangunan Berkelanjutan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat