KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014 - 2019 buruk. Hal ini melihat capaian DPR dalam menjalankan 3 fungsi pokok di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan. Peneliti Formappi Lucius Karus menerangkan, dari fungsi legislasi, RUU yang dihasilkan DPR pada periode 2014-2019 tak lebih banyak dibandingkan DPR periode sebelumnya. Formappi mencatat, total RUU (RUU Prioritas dan kumulatif terbuka) yang disahkan DPR pada 2014 - 2019 sebanyak 84 RUU (Hingga 25 September 2019), lebih sedikit dari capaian DPR 2009-2014 yang mencapai 125 RUU.
Bahkan, menurut Lucius, dari 35 RUU prioritas yang disahkan terdapat Undang-Undang (UU) yang direvisi berulang-ulang seperti UU MD3, UU tentang pilkada, UU tentang Pemerintahan daerah serta UU yang disahkan secara mendadak tanpa dimasukkan ke prolegnas prioritas dan dikebut penyelesaiannya.
Baca Juga: DPR sahkan lima anggota BPK terpilih untuk periode 2019-2024 "Total ada 7 nama RUU di daftar nama RUU di daftar prolegnas prioritas 2014- 2019, yang kesannya menambah banyak jumlah RUU, padahal itu hasil revisi. Dan hasil revisi itu sayangnya revisi 1-2 pasal, tetapi sudah memenuhi daftar prolegnas prioritas, kesannya bertenaga sekali DPR ini, padahal hanya merevisi 1-2 kata," kata Lucius, Kamis (26/9). Lebih lanjut Lucius menerangkan, minimnya RUU yang dihasilkan DPR di 2014-2019 disebabkan berbagai alasan yakni perencanaan yang tidak terfokus, tidak terarah dan tidak sistematis, tradisi memperpanjang proses pembahasan legislasi setiap masa sidang dan bebasnya aturan terkait durasi pembahasan RUU di DPR, terlalu banyak kegaduhan yang menyedot waktu dan energi, gonta-ganti ketua DPR dan lainnya. Dalam fungsi anggaran, Lucius juga mengkritisi defisit anggaran yang terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Lucius, membengkaknya utang akibat defisit yang terus meningkat tidak dikrititisi oleh DPR. Padahal, dia berpendapat, DPR mengetahui utang yang meningkat akan menyebabkan ambruknya keuangan negara.
Baca Juga: Pengesahan dua RUU ditunda, Formappi minta isi RUU disosialisasikan Formappi pun menilai DPR tidak konsisten mendukung anggaran keempat kementerian yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Sementara, DPR justru mengalami kenaikan anggaran dari tahun ke tahun. "Itu berarti DPR lebih mementingkan kepentingannya sendiri ketimbang program-program pro rakyat," tutur Lucius. Sementara, dari fungsi pengawasan, Formappi pun menilai timp pengawas dan pemantau yang dibentuk DPR belum maksimal, Dari 9 tim pengawas dan pemantau yang dibentuk, sampai 18 September 2019 yang sudag menyampaikan laporan kinerjanya hanya 6 dan ada 2 tim yang belum melaporkan serta 1 tim yang tak jelas nasibnya. Pantia kerja (panja) yang dibentuk komisi maupun AKD pun masih menunjukkan hasil yang minim. 2 pansus yang dibentuk pun tak terlalu berdampak, mengingat rekomendasi dari kedua pansus tersebut tak dihiraukan. Bahkan, tindak lanjut temuan BPK oleh DPR pun minim.
Baca Juga: DPR targetkan sahkan 50% RUU Prolegnas sebelum lengser tahun ini DPR juga dianggap lemah dalam memberikan kesimpulan/rekomendasi kepada pasangan kerjanya. Selain itu, DPR juga tidak memanfaatkan hak interpelasi, angket atau menyatakan pendapat bila tidak puas dengan penjelasan kementerian/lembaga pasangan kerjanya. Tak hanya dari segi fungsi, Formappi juga menilai kinerja buruk DPR pun diperparah oleh citra kelembagaan parlemen yang dihiasi banyak penyimpangan anggaran, pelanggaran kode etik dan kemalasan yang melekat. Dari sisi kelembagaan, adanya pergantian pemimpin yang terjadi hingga 3 kali akibat pelanggaran etik dan terlibat kasus korupsi dianggap memperburuk kinerja DPR. Apalagi, pergantian pemimpin tersebut menyebabkan tidak ada kesinambungan program yang rekah ada. Adanya program-program baru pun dianggap tidak mengubah kinerja DPR ke arah yang lebih baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .