KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin. "Kami masih berpijak pada usulan percepatan penggabungan (batasan produksi) sigaret kretik mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM)," kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto dalam siaran pers, Minggu (15/9).
Baca Juga: CISDI: Simplifikasi cukai akan menurunkan konsumsi rokok Saat ini, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dimanfaatkan oleh beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak. Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal, tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60 persen ketimbang golongan 1. Tuntutan Formasi untuk mempercepat penggabungan batas volume produksi SKM dan SPM menjadi 3 miliar batang per tahun itu juga didukung oleh sejumlah ekonom dan akademisi.
Baca Juga: Telan korban jiwa, pemerintah AS mulai larang rokok elektrik beraroma Mereka mendorong pemerintah segera melakukan penggabungan agar pabrikan besar yang secara kumulatif produksi telah mencapai 3 miliar, harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan. Berdasarkan data INDEF, penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dapat menambah pemasukan negara sebesar Rp 1 triliun. Selanjutnya, Formasi juga meminta agar persentase kenaikan tarif cukai antara golongan 1 dan 2 harus sama. "Kenaikan dalam batas kewajaran, sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi," tegas Heri.
Baca Juga: Kenaikan cukai rokok bikin IHSG melorot 1,82% Di segmen SKT, Formasi meminta adanya penggabungan tarif SKT golongan 1, serta mempertahankan besaran tarif dan batasan produksi pada golongan 3, yakni Rp 100 per batang, dan di bawah 500 juta batang per tahun. Heri mengatakan, keempat tuntutan tersebut demi kepentingan semua pihak. "Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung," Selain menuntut empat hal tersebut, Formasi juga mengapresiasi pemerintah yang telah mampu menurunkan peredaran rokok illegal. “Di sisi lain kami juga meminta perhatian pemerintah atas maraknya penjualan rokok murah (subsidi) dari grup pabrikan besar yang semakin mengabaikan etika dalam berusaha,” tegas Heri.
Baca Juga: DPR minta pemerintah optimalkan pemberantasan rokok ilegal sebelum naikkan cukai Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tarif cukai rokok tahun 2020 akan naik rata-rata sebesar 23%. Adapun harga jual eceran akan naik hingga 35 persen. Kebijakan ini akan mulai berlaku Januari 2020. Seluruh kenaikan tersebut akan dituangkan dalam revisi PMK 156 yang saat ini masih digodok pemerintah. Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR, Amir Uskara menjelaskan jika Pemerintah tidak segera merealisasikan penggabungan SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang, maka persoalan yang terjadi akan semakin kompleks. Pertama, pabrikan rokok besar asing akan terus menikmati tarif cukai murah.
Kedua, iklim bisnis menjadi tidak kondusif karena pabrikan besar menghadapi pabrikan kecil; dan ketiga, pabrikan rokok besar asing terus melakukan
tax avoidance.
Baca Juga: IHSG anjlok 1,82%, ini sentimen pemberatnya “Kami akan sangat mengapresiasi Kementerian Keuangan terutama Bea Cukai dan BKF jika skema yang pernah disampaikan ke Komisi XI dapat direalisasikan secara utuh. Dengan demikian perusahaan besar asing tidak bisa lagi berpura-pura sebagai perusahaan kecil dan membayar cukai rendah,” jelas Amir. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini