Foto-foto palsu memperuncing konflik Myanmar



KONTAN.CO.ID - Kian meningkatnya ketegangan di negara bagian Rakhine, wilayah selatan Myanmar, semakin diperuncing dengan beredarnya foto-foto yang disebar di media sosial.

Permasalahannya, ada sejumlah foto dan video yang disebarkan palsu atau hoaks.

Seperti yang diketahui, pertikaian antara warga Muslim Rohingya dan warga mayoritas Budha di Rakhine telah menyebabkan kekerasan komunal di masa lalu.


Warga Rohingya sudah menghadapi penganiayaan selama beberapa dekade di Myanmar, di mana kewarganegaraan mereka pun juga ditolak.

Informasi sangat sulit didapat dan jurnalis dunia hanya sedikit memiliki akses ke wilayah ini.

Bahkan mereka yang berupaya untuk mencapai area ini menemukan bahwa situasi kekerasan yang terus menerus dilakukan kepada warga Rohingya membuat para jurnalis kesulitan dalam mengumpulkan informasi.

Berikut sejumlah rangkuman mengenai apa yang terjadi di Rakhine:

- Pada pekan lalu, setelah beberapa pekan yang menegangkan, kelompok militan yang menamakan diri mereka Arakan Rohingya Salvation Army menyerang setidaknya 25 kantor polisi

- Pertempuran dilaporkan terjadi di banyak wilayah, terkadang melibatkan penduduk Rohingya yang bergabung dengan kelompok militan untuk melawan pasukan militer Myanmar

- Bahkan di banyak kasus, pasukan militer Myanmar, terkadang dibantu oleh warga sipil Budha bersenjata, membakar desa-desa Rohingya dan menembakkan senjata kepada penduduk Rohingya

- Komunitas Budha juga diserang, dan sejumlah warga Budha tewas

- PBB mengestimasi, sekitar 40.000 warga Rohingya telah menyebrangi perbatasan ke Bangladesh dengan cerita-cerita penganiayaan yang memilukan

Pada 29 Agustus 2017, Deputi Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek, mengunggah empat foto ke akun Twitternya. Dia mendesak agar dunia internasional menghentikan pembasmian etnik Rohingya.

Unggahannya diretweet hingga lebih dari 1.600 kali dan disukai lebih dari 1.200 pembaca.

Namun, Simsek banyak mendapatkan kritik mengenai keaslian foto yang dia sebar.

Tiga hari setelah unggahan tweetnya, Simsek memutuskan untuk menghapusnya. Apalagi setelah banyak orang yang menantang agar dia membuktikan keaslian foto tersebut.

Foto pertama menunjukkan sejumlah mayat yang sudah membengkak dan sulit untuk dikenali.

Sejumlah warga Burma menantang Simsek dengan menjelaskan bahwa foto tersebut merupakan foto korban Badai Nargis yang terjadi pada Mei 2008.

Foto lainnya menunjukkan korban kecelakaan kapal di Myanmar. Tidak ada foto serupa yang dapat ditemukan terkait kejadian tersebut.

Namun, foto tersebut muncul di sejumlah situs dengan tanggal kejadian tahun lalu. Hal ini menunjukkan, foto tersebut bukan merupakan foto dari kekerasan di Rakhine baru-baru ini.

Sedangkan foto kedua menunjukkan seorang wanita tengah menangisi seorang pria yang terikat di bawah pohon. Setelah ditelusuri, rupanya foto ini diambil di Aceh, Indonesia, pada Juni 2003. Foto ini diambil oleh fotografer Reuters.

Foto ketiga menunjukkan dua balita tengah menangis di atas tubuh ibu mereka. Rupanya itu merupakan foto yang diambil di Rwanda pada Juli 1994.

Untuk foto keempat, sangat sulit mendeteksinya.

Pada awal tahun ini, saat tim dari Perserikatan Bangsa Bangsa melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, tim ini menolak menggunakan foto atau video apapun yang tidak diambil sendiri, karena masalah keasliannya.

Laporan mereka juga memberikan penjelasan detil mengenai metedologi yang mereka gunakan.

Hasil temuan PBB, terjadi kekejaman yang berkelanjutan atas komunitas Rohingya. Dan hal itu tergolong dalam aksi kejahatan atas kemanusiaan. Pemerintah Myanmar juga menolak mengakui keberadaan Rohingya dan menolak mengeluarkan visa bagi anggota tim PBB yang ingin melakukan misi kemanusiaan di Rakhine.

Informasi ini dikumpulkan dari sejumlah sumber yang berbeda pada situasi tertentu di Rakhine. Kondisi itu menggambarkan konflik yang sangat serius.

Tampaknya ada kekejaman yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun situasi bagi Rohingya, yang saat ini terus menerus mendapat serangan berlanjut dari pasukan militer dan warga sipil bersenjata Myanmar, tampaknya jauh lebih buruk.

Mendapatkan gambaran yang akurat tentang apa yang terjadi, akan memakan waktu lama, mengingat betapa sedikit pengamat yang netral terhadap wilayah tersebut.

Tapi kampanye di media sosial yang terkadang menjerumuskan, akan memperuncing perilaku di kedua sisi. Besar kemungkinan, hal itu akan membuat konflik semakin buruk.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie