FPCI: Trump Dinilai akan Hambat Target Net Zero Emission Jika Jadi Presiden AS



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS), sebagai negara penghasil emisi gas terbesar kedua di dunia dikhawatirkan tidak dapat berkontribusi pada penurunan emisi gas dunia jika negara tersebut memilih Donald Trump sebagai presiden ke 47 mereka. Menurut mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia sekaligus pendiri dari Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan hal ini didasari oleh ketidakpercayaan Trump pada perubahan iklim. "Waktu dia (Trump) menjadi presiden, dia menarik Amerika dari perjanjian Paris. Dan kalau dia jadi presiden kembali, ada kemungkinan dia menarik kembali Amerika dari perjanjian Paris dan kebijakannya juga bukan kebijakan yang banyak  menolong dekarbonisasi ekonomi Amerika," kata Dino, Sabtu (24/08).

Baca Juga: Konversi Motor BBM ke Kendaraan Listrik Masih Menghadapi Berbagai Tantangan Asal tahu saja, pada 1 Juni 2017 saat masih menjabat sebagai presiden, Trump menghentikan semua partisipasi AS dalam Perjanjian Paris 2015 mengenai mitigasi perubahan iklim. Dirinya berpendapat bahwa perjanjian tersebut akan merusak perekonomian AS, dan menempatkan AS berada dalam posisi yang dirugikan secara permanen. "Kalau kita bandingkan dengan Biden, kan dia kuat sekali kebijakan-kebijakan yang untuk menurunkan emisi Amerika. Yang kita prediksikan, Presiden Trump akan membuat komplikasi lebih banyak untuk net zero target," tambah Dino. Dia juga bilang kontestasi geo-politik jangan sampai membuat kerjasama dalam sektor climate change menjadi lebih sulit. Adapun, tahun ini Amerika telah menetapkan tarif baru yang tinggi untuk impor China ke AS termasuk kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) yang telah berlaku sejak 1 Agustus 2024. "Amerika di bawah pemerintahan Biden kan sudah menerapkan tarif 100 persen untuk EV dari China, mungkin Eropa juga akan ikut segala macam, ini memang satu hal yang perlu diluruskan jangan sampai kontensasi geopolitik membuat kerjasama climate change jadi lebih sulit kan," ungkapnya. Menurutnya, kebutuhan EV di negara-negara barat termasuk Amerika belum bisa tercukupi, produksi EV dalam negeri AS juga masih minim jika dibandingkan dengan China. "Nah, ini ada sumbernya, kok mereka nolak, ya ini karena ada faktor-faktor geopolitik. Makanya, saya bilang geopolitik dan politiknya juga masih susah, ekonominya juga belum align, pengusaha masih banyak yang belum yakin, publik masih pun skeptis," kata dia. Ia juga menambahkan, negara-negara penghasil emisi terbesar di dunia seperti China dan AS harus bisa menekan emisi mereka sendiri salah satunya dengan memiliki pemimpin yang memiliki concern dan pemahaman terhadap perubahan iklim. "Menurut saya hambatan yang cukup besar untuk Amerika kan penghasil emisi terbesar nomor 2 di dunia, jadi Tiongkok harus beres, Amerika harus beres sebagai solusi. Tapi kalau presidennya saja tidak percaya kepada perubahan iklim kan ini adalah hal yang memprihatinkan, kecuali dia berubah pikiran," jelasnya. 

Baca Juga: Semen Indonesia (SMGR) Pacu Penjualan Semen Hijau


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati