Freeport dan ESDM jawab gugatan IHCS



JAKARTA. Gugatan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang dilayangkan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) masih terus bergulir. Dalam lanjutan sidang yang berlangsung pada akhir pekan lalu mengagendakan jawaban dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) dan Freeport.

Dalam berkas jawaban Kementerian ESDM melalui salah satu kuasa hukumnya, Esterini Wahyuwibisana menyatakan, gugatan ini tidak bisa berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Alasanya, kontrak karya perusahaan tambang itu menyatakan, jika ada sengketa menyangkut perjanjian yang sudah diteken sejak tahun 1991 itu menyatakan segala sengketa harus diselesaikan di pengadilan arbitrase.

Selain itu, karena sengketa ini soal kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maka yang berhak mengadilinya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.


Kementerian ESDM juga mempertanyakan posisi atau legal standing IHCS. Karena IHCS bukan pihak yang terikat dalam kontrak karya.

Begitu juga dengan kubu Freeport. Dalam berkas jawabannya, Freeport menyatakan kontrak karya tidak melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2003 tentang tarif PNBP.

Walaupun PP ini menyebutkan aturan terbaru soal tarif royalti yang berbeda dengan kontrak karya, perbedaan itu tidak lantas membuat perjanjian ini berubah. Alasannya, seusai dengan pasal 1338 KUH Perdata, isi kontrak karya tidak berlaku surut.

Jurubicara Freeport, Ramdani Sirait menambahkan bahwa perusahaannya selalu membayar kewajiban. "Kami mematuhi isi kontrak karya," ujar Ramdani.

Kuasa Hukum IHCS, Anton Febrianto, tetap berkeyakinan bahwa PN Jakarta Selatan berhak mengadili perkara ini. Sebab, perkara ini adalah termasuk gugatan perbuatan melawan hukum.

IHCS juga tetap menyatakan kontrak karya Freeport menabrak PP PNBP. Makanya IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak Rp 70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freeport di Papua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: