Freeport di mata putra Suku Amungme



MIMIKA. Ada cerita yang menarik, di tengah polemik pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait dengan belum disepakatinya perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Juga, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) serta kewajiban saham yang harus dilepas Freeport hingga 51%. Yang kemudian berujung mandegnya aktivitas ekspor konsentrat tembaga Freeport.

Cerita ini juga menyangkut pernyataan Menteri ESDM Igansius Jonan yang mengatakan, bahwa kontribusi Freeport tidak lebih besar dari cukai rokok. Dan, hanya menyumbang kontribusi Rp 8 triliun.


Ketika KONTAN diberi kesempatan mendatangi lokasi para pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Salah satu pekerja Freeport, yaitu Chief Engineer Geotechnical LWR Dump Freeport Indonesia Lazarus Bougaleng menyatakan bahwa Freeport sangat berpengaruh terhadap dirinya, juga para pekerja yang lain.

Itu karena telah memberikan kontribusi melalui beasiswa pendidikan terhadap ribuan siswa masyarakat Papua, khususnya pada putra-putri tujuh suku.

Lazarus yang juga putra suku Amungme ini mendapatkan beasiswa dari jenjang Sekolah Dasar hingga jenjang kuliah. Dia bahkan sempat belajar selama satu tahun di Amerika Serikat melalui program kerja sama Freeport dengan American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF).

"Yang saya rasakan sendiri, bahwa beasiswa itu bukan hanya uang sekolah tapi juga uang saku yang cukup," katanya ketika di temui.

Bentuk kontribusi Freeport, kata Lazorus, dalam memajukan suku Amungme diantara lain, adanya perubahan di kampung halamannya. Contoh saja, sekarang ini laki-laki di kampungnya sudah mengenakan pakaian, dan tak lagi menggunakan koteka.

Selain itu juga, masyarakat sudah dibangunkan rumah permanen dari kayu sebanyak 200 unit yang menggantikan rumah khas Timika yang memakai Honai. "Ini lompatan yang luar biasa meski tidak langsung 100%," ujarnya.

Pria berusia 29 tahun ini bilang, keberadaan Freeport juga mampu meningkatkan kualitas kesehatan dengan cara kunjungan ke kampung-kampung. Adapun kunjungan itu dimaksudkan untuk "menjemput bola" bila ada warga yang sakit.

"Pelayanan yang diberikan Freeport tidak berhenti disitu melainkan menyeluruh berupa pemberian pengobatan secara cuma-cuma alias gratis. Khususnya untuk tujuh suku," ungkapnya.

Asal tahu saja, Lazorus sudah bekerja di Freeport pada 2012 usai menamatkan diri dari bangku kuliah jurusan pertambangan Universitas Trisakti.

Tapi, Lazorus enggan menanggapi beberapa putra suku Amungme yang kerap meminta hak ulayatnya kepada Freeport dengan mengadakan konfresni pers di Jakarta beberapa waktu lalu.

"Saya berharap pemerintah dan Freeport bisa segera mendapatkan solusi terbaik dari perbedaan pendapat yang terjadi belakangan ini," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto