JAKARTA. Renegosiasi kontrak karya (KK) antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia masih berjalan alot. Sampai kini, perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) itu masih belum mau menyesuaikan kontraknya dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Rozik B Soetjipto, Presiden Direktur Freeport Indonesia menuturkan, dari enam poin yang harus diselaraskan, pihaknya hingga sekarang hanya bersedia mengenai kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri. "KK itu dalah perjanjian antara dua belah pihak, kami salah satunya dan kebetulan satu pihak lainnya adalah pemerintah," kata dia, di kantornya, Kamis (12/12). Terkait poin kebijakan hilirisasi mineral, Freeport masih berharap kelonggaran dari pemerintah. Yakni, berupa kelonggaran ekspor konsentrat tembaga hingga lima tahun ke depan, atau sampai unit pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri mampu menampung semua produksi.
Sekarang, dari 2,3 juta ton hingga 2,5 juta ton konsentrat milik Freeport, sekitar 40% atau setara 800.000 ton hingga 900.000 ton diserap oleh PT Smelting di Gresik. "Kalau pemerintah tetap memaksa penutupan ekspor konsentrat mulai 12 Januari tahun depan, produksi kami hanya tinggal 40%," ujar Rozik. Rozik menambahkan, pihaknya juga telah bersedia menciutkan areal tambang dari 212.950 hektare (ha) menjadi sekitar 127.000 ha. Namun, berdasarkan UU Minerba, batasan maksimun perusahaan tambang operasi produksi hanya 25.000 ha. Soal poin royalti, sejatinya perusahaan itu rela menaikkan setoran menjadi 4% untuk tembaga, 3,75% untuk emas, dan 3,25% untuk hasil penjualan perak. Sebelumnya, royalti yang didapat negara dari hasil penjualan emas dan perak Freeport hanya sebesar 1%. "Tarif royalti yang kami setujui ini akan diberlakukan setelah kontrak baru ditandatangani," imbuh Rozik. Soal kewajiban divestasi saham, perusahaan yang mulai masuk ke Indonesia sejak 1967 ini juga hanya bersedia melepaskan sahamnya kepada kepemilikan nasional sebanyak 20%. Sekarang, kemilikan Pemerintah Indonesia di perusahaan tersebut mencapai 9,36%. Masih alot soal kontrak Rozik menambahkan, klausul perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga sekarang juga belum menemui titik temu. Dia bilang, pihaknya belum sepakat dengan skema perpanjangan kontrak yang ditawarkan pemerintah lantaran mekanisme kontrak pengusahaannya masih belum jelas. Menurut Rozik, sekarang ini Freeport tengah menggenjot pengembangan tambang bawah tanah yang memerlukan investasi besar serta mengandung risiko besar. "Karena itu, kami menginginkan rencana kerja jangka panjang hingga dua kali perpanjangan kontrak, dan dalam KK pun disebutkan adanya spesial perundingan antara kami dan pemerintah," imbuhnya. Anehnya, pada pertemuan dengan Freeport pekan lal,u, pemerintah justru menyatakan proses renegosiasi kontrak tersebut telah banyak mencapai kesepakatan. "Sudah ada kemajuan," kata Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari data yang diperoleh KONTAN, berdasarkan data perkembangan renegosiasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 27 November lalu, hanya tiga dari 33 perusahaan pertambangan mineral yang sepakat mengubah perjanjiannya dan disesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan di perusahaan tambang batubara, hanya 11 dari 74 pemegang PKP2B yang setuju menjalankan perintah UU Minerba tersebut. Boks Meski penerapan UU Minerba pada 12 Januari 2014 mendatang membuat gerah beberapa perusahaan tambang mineral, rupanya hal itu tidak membuat panik perusahaan tambang milik negara. Mereka mengklaim sudah menjalankan titah dari UU Minerba itu.
Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan mengatakan, bila UU Minerba diberlakukan tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan tambang BUMN. "Perusahaan BUMN sudah memiliki pabrik pengolahan sendiri untuk nikel dan timah," ungkap dia, Kamis (12/12). Misalnya, PT Antam Tbk dan PT Timah. Kedua perusahaan tersebut sudah mampu mengolah bahan mentah menjadi bernilai tambah. Seperti diketahui, Antam memiliki pabrik pengolahan di Tambang Pongkor dan kemudian dimurnikan di UBPP Logam Mulia di Jakarta. Antam juga sedang membangun smelter feronikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Sementara itu, TINS memiliki smelter di Bangka. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini