JAKARTA. Hasil riset Forst & Sullivan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pasar energi baru dan terbarukan. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya energi potensial untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga geothermal, tenaga air, biomassa, tenaga angin, tenaga surya serta energi gelombang laut. Country Director Forst and Sullivan Indonesia, Eugene van de Weerd mengatakan, kenaikan harga minyak bakal mendorong berkembangnya industri energi baru dan terbarukan. “Hambatannya saat ini masih segi harga, pengembangan, permintaan pasar dan insentif yang menarik dari pemerintah,” ujar Eugene.Menurut Asia Pasific Vice President, Energy & Power System Practice Forst and Sullivan, Ravi Krishnaswamy bilang tidak berkembangnya industri energi baru dan terbarukan di Indonesia karena lemahnya implementasi dan tidak adanya kerangka peraturan dan kebijakan seperti feed in tariff untuk menarik minat swasta di industri ini. “Meskipun potensinya besar, beberapa tantangan industri seperti insentif yang terbatas dan infrastruktur energi yang masih lemah dapat menghambat penetrasi pasar,” kata Ravi. Padahal, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan industri dalam negeri bahkan bersaing dengan negara-negara lain di dunia.Sementara itu, Direktur Bio Energi Kementerian ESDM, Maritje Hutapea mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun road map bauran energi. Dua skenario yang sedang disusun oleh pemerintah adalah bauran energi dengan dan tanpa nuklir. BMenurut dia, dalam kasus skenario tanpa nuklir, maka pada 2025 peran energi panas bumi perlu ditingkatkan menjadi 17 juta ton setara minyak (MTOE) atau 22 gigawatt (GW) dan gas metana batu bara (CBM) menjadi 14 MTOE. “Atau, dengan meningkatkan pemanfaatan tenaga air maupun biomassa di wilayah Jawa dan Sumatera," katanya.Jika, skenario pemanfaatan EBT tanpa nuklir tidak tercapai, kata Martije, pemerintah akan memaksimalkan porsi batubara hingga 33,4%. Maritje mengatakan, porsi EBT tanpa nuklir pada 2025 itu terdiri dari bahan bakar nabati (BBN) 6,7%, sampah 2,4% panas bumi 3,9 %, air 5,3 %, laut 0,3 %, matahari 2 %, angin 0,8 %, dan gas metana batu bara (CBM) 3,7 %.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Frost&Sullivan: Sejatinya potensi energi terbarukan di Indonesia cukup besar
JAKARTA. Hasil riset Forst & Sullivan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pasar energi baru dan terbarukan. Sebab, Indonesia memiliki sumber daya energi potensial untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga geothermal, tenaga air, biomassa, tenaga angin, tenaga surya serta energi gelombang laut. Country Director Forst and Sullivan Indonesia, Eugene van de Weerd mengatakan, kenaikan harga minyak bakal mendorong berkembangnya industri energi baru dan terbarukan. “Hambatannya saat ini masih segi harga, pengembangan, permintaan pasar dan insentif yang menarik dari pemerintah,” ujar Eugene.Menurut Asia Pasific Vice President, Energy & Power System Practice Forst and Sullivan, Ravi Krishnaswamy bilang tidak berkembangnya industri energi baru dan terbarukan di Indonesia karena lemahnya implementasi dan tidak adanya kerangka peraturan dan kebijakan seperti feed in tariff untuk menarik minat swasta di industri ini. “Meskipun potensinya besar, beberapa tantangan industri seperti insentif yang terbatas dan infrastruktur energi yang masih lemah dapat menghambat penetrasi pasar,” kata Ravi. Padahal, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan industri dalam negeri bahkan bersaing dengan negara-negara lain di dunia.Sementara itu, Direktur Bio Energi Kementerian ESDM, Maritje Hutapea mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun road map bauran energi. Dua skenario yang sedang disusun oleh pemerintah adalah bauran energi dengan dan tanpa nuklir. BMenurut dia, dalam kasus skenario tanpa nuklir, maka pada 2025 peran energi panas bumi perlu ditingkatkan menjadi 17 juta ton setara minyak (MTOE) atau 22 gigawatt (GW) dan gas metana batu bara (CBM) menjadi 14 MTOE. “Atau, dengan meningkatkan pemanfaatan tenaga air maupun biomassa di wilayah Jawa dan Sumatera," katanya.Jika, skenario pemanfaatan EBT tanpa nuklir tidak tercapai, kata Martije, pemerintah akan memaksimalkan porsi batubara hingga 33,4%. Maritje mengatakan, porsi EBT tanpa nuklir pada 2025 itu terdiri dari bahan bakar nabati (BBN) 6,7%, sampah 2,4% panas bumi 3,9 %, air 5,3 %, laut 0,3 %, matahari 2 %, angin 0,8 %, dan gas metana batu bara (CBM) 3,7 %.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News