Fund Manager Ini Ikuti Jejak Warren Buffett di Tengah Ancaman Krisis Pasar



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam dunia investasi, nama-nama besar seperti Warren Buffett dan Charlie Munger telah menjadi rujukan utama bagi para fund manager dan investor yang mengadopsi strategi investasi jangka panjang.

Salah satu tokoh yang mengadopsi pendekatan ini adalah Bill Smead, fund manager Smead Value Fund (SMVLX). Melalui penerapan strategi membeli dan menahan saham bernilai yang dipopulerkan oleh Buffett dan Munger, Smead telah berhasil mengalahkan 99% dana sejenis dalam 15 tahun terakhir menurut data dari Morningstar.

Namun, yang menarik perhatian bukan hanya keberhasilan Smead di pasar yang sedang naik, tetapi juga bagaimana ia mengantisipasi risiko pasar di masa depan. Smead meyakini bahwa saat ini ada beberapa indikasi yang mengarah pada penurunan performa pasar, yang mencerminkan pendekatan Buffett pada akhir 1990-an ketika gelembung dot-com berada di puncaknya. 

Strategi Investasi Bill Smead yang Berpijak pada Buffett dan Munger


Bill Smead terkenal dengan filosofi investasinya yang serupa dengan Warren Buffett dan Charlie Munger, yakni membeli saham-saham undervalued dengan potensi pertumbuhan jangka panjang, dan menahan investasi tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Baca Juga: Warren Buffett: Definisi Kesuksesan Bukan Tentang Kekayaan, Melainkan Hal Penting Ini

Dalam bisnis investasi, Smead berpendapat bahwa lebih penting untuk mengetahui siapa yang pintar daripada mencoba menjadi pintar. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang sering dikatakan oleh Munger bahwa "plagiarisme dalam dunia investasi bisa diterima." Artinya, mengikuti jejak investor sukses adalah strategi yang sah dan efektif.

Smead telah mengimplementasikan strategi ini dengan sangat baik dalam pengelolaan Smead Value Fund, dengan rata-rata pengembalian 14% per tahun, mengalahkan indeks S&P 500 yang hanya mencatatkan pengembalian tahunan sebesar 13,8% selama periode yang sama.

Namun, di balik kesuksesan tersebut, Smead juga memperhatikan bagaimana Buffett mempersiapkan diri untuk menghadapi risiko penurunan pasar, terutama ketika Buffett secara signifikan mengurangi kepemilikan sahamnya di perusahaan besar seperti Apple dan Bank of America.

Paralel Antara Tindakan Buffett di Tahun 1999 dan Saat Ini

Pada tahun 1999, saat puncak gelembung dot-com, Buffett memilih untuk tidak ikut terjun dalam euforia pasar teknologi. Dalam serangkaian pidato antara bulan Juli hingga September 1999, yang diringkas oleh Carol Loomis dari Fortune, Buffett memperingatkan bahwa pasar tidak mungkin mempertahankan laju kenaikannya yang pesat.

Menurutnya, ada dua faktor yang mendukung kenaikan pasar saham pada tahun-tahun sebelum 1999: penurunan suku bunga jangka panjang dan peningkatan laba perusahaan.

Namun, Buffett berpendapat bahwa kedua faktor ini tidak mungkin terus berlanjut. Meskipun suku bunga turun, ia melihat bahwa valuasi saham telah meningkat ke tingkat yang ekstrem, yang pada akhirnya akan merugikan prospek pengembalian di masa depan.

Baca Juga: Warren Buffett Beri Tugas Khusus Bernilai US$143,1 Miliar kepada Anaknya, Apa Itu?

Pasar saham memang mengalami penurunan drastis pada tahun-tahun berikutnya, dengan S&P 500 turun 50% dalam beberapa tahun setelah tahun 1999.

Kekhawatiran Smead terhadap Pasar Saat Ini

Kini, Smead melihat kondisi serupa yang mengingatkannya pada tahun 1999. Setelah 15 tahun suku bunga yang sangat rendah dan pertumbuhan laba perusahaan yang kuat, Smead meyakini bahwa tren kemenangan seperti ini tidak dapat bertahan selamanya.

Menurutnya, ada kemungkinan besar bahwa performa S&P 500 dalam 10 hingga 15 tahun ke depan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi investor yang mengandalkan pengembalian pasar untuk pendanaan masa depan mereka.

Dalam pandangan Smead, inflasi akan kembali melonjak seiring dengan penurunan suku bunga oleh The Fed. Meskipun suku bunga Treasury 10 tahun saat ini sedang menurun, Smead memprediksi bahwa lonjakan inflasi akan mendorong suku bunga naik menuju 6%.

Dengan valuasi pasar yang mendekati titik tertinggi sepanjang masa, ini akan menciptakan masalah besar bagi pasar saham.

Meskipun banyak ekonom dan pengamat pasar, termasuk The Fed, tidak menganggap inflasi sebagai ancaman serius karena pasar tenaga kerja menunjukkan tanda-tanda pelonggaran, Smead berpendapat sebaliknya.

Menurutnya, pasar tenaga kerja lebih kuat daripada yang diperkirakan banyak pihak, dengan tingkat pengangguran 4,2% yang meskipun meningkat, masih tergolong rendah secara historis. Perusahaan masih kesulitan menemukan pekerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Apakah Kita Sedang Menuju Siklus Tidak Baik?

Berdasarkan semua pertimbangan ini, mulai dari kemungkinan lonjakan inflasi, suku bunga yang meningkat, valuasi tinggi, hingga pertumbuhan laba perusahaan yang sulit dipertahankan, Smead memprediksi bahwa indeks S&P 500 akan mengalami performa yang buruk di masa mendatang.

Baca Juga: 3 Saham Warren Buffett yang Mengungguli Pasar pada Tahun 2024

Menurutnya, Warren Buffett juga sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi skenario ini. Tindakan Buffett saat ini mencerminkan apa yang ia lakukan menjelang akhir 1990-an, ketika ia melihat tanda-tanda siklus pasar yang tidak stabil.

Smead menyebut fenomena ini sebagai unvirtuous cycle atau siklus yang tidak baik. Dalam siklus ini, penurunan performa indeks akan memicu aksi jual lebih lanjut. Ketika indeks mulai melemah, investor akan mulai menjual saham-saham yang tergabung dalam indeks tersebut.

Hal ini akan menyebabkan saham-saham konstituen terbesar dalam indeks, seperti Apple, mengalami kinerja yang buruk, yang pada gilirannya akan memicu aksi jual lebih lanjut dan memperburuk penurunan pasar.

Selanjutnya: IHSG Menguat 0,42% ke 7.775,73 Hari Ini, Intip Prediksi Esok (24/9)

Menarik Dibaca: Dapatkan BB Ideal dengan Konsumsi Menu Diet Cepat Kurus Berikut Ini, Yuk!

Editor: Handoyo .