JAKARTA. Koreksi terbatas mulai menghantam nikel setelah mencatatkan level tertingginya dalam 1,5 tahun terakhir. Mengutip Bloomberg, Selasa (29/11), harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange anjlok 4,73% ke US$ 11.080 per metrik ton. Dalam sepekan pun harganya sudah terseret 2,55%. Andri Hardianto, Analis Asia Trade Point Futures, menilai, secara fundamental nikel masih berpotensi menguat. Maklum, pasokan nikel masih minim, sedang permintaan menggemuk. World Bureau of Metal Statistic merilis defisit nikel periode Januari–September di pasar global sudah mencapai 76.400 per metrik ton. Produksi Myanmar sebagai pemasok terbesar nikel masih terhambat. Sementara Indonesia masih melarang ekspor bijih nikel. Ini makin memperparah minimnya pasokan. Defisit diperkirakan akan terjadi hingga akhir tahun nanti.
Di sisi lain, selain permintaan meningkat, terpilihanya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat juga jadi sentimen positif bagi nikel. “Tahun depan permintaan masih tinggi,” terang Andri, Rabu (30/11). Hasil pertemuan negara produsen minyak OPEC yang berlangsung kemarin, tak cukup kuat menggerakkan harga nikel. Cuma, harga nikel berpotensi mengalami koreksi terbatas bila bank sentral AS The Federal Reserve menaikkan suku bunga. Analis memprediksi, di akhir tahun harga nikel diperkirakan bisa mencapai kisaran US$ 12.500 per metrik ton–US$ 13.000 per metrik ton. Penguatan harga nikel diprediksi terus berlanjut hingga kuartal I tahun depan.