KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) masih cenderung tertekan. Pada perdagangan Kamis (17/5), harga saham emiten ini ditutup di Rp 1.120 per saham, melemah 21,13% dari posisi di awal tahun. Meski begitu, posisi harga penutupan kemarin sudah lebih baik dari posisi pekan sebelumnya. Kamis pekan lalu (10/5), harga saham LSIP sempat bertengger di Rp 1.095 per saham, harga terendah sepanjang tahun ini. Maklum saja, emiten perkebunan ini tengah terkena sentimen negatif harga minyak sawit mentah alias
crude palm oil (CPO) yang cenderung melemah belakangan ini. Tambah lagi, kinerja perusahaan anggota Grup Salim ini di kuartal pertama tahun ini juga kurang moncer.
LSIP mencatat penjualan di tiga bulan pertama tahun ini sebesar Rp 868,34 miliar. Angka realisasi penjualan tersebut lebih rendah 40,68% jika dibandingkan penjualan di periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 1,46 triliun. Penjualan CPO di periode tersebut cuma mencapai 80.173 ton, turun dari 120.099 ton di periode yang sama setahun sebelumnya. Sementara penjualan inti sawit (
palm kernel) turun 24,3% menjadi 23.426 ton. Penjualan karet perseroan ini juga turun 19,6% menjadi 2.248 ton. Meski begitu, penjualan bibit naik 21% menjadi 2,54 juta bibit. Penjualan emiten ini turun dalam lantaran penjualan ke pihak ketiga merosot tajam. LSIP cuma mencetak penjualan ke pihak ketiga Rp 225,59 miliar di tiga bulan pertama tahun ini. Di periode yang sama 2017, nilai penjualan ke pihak ketiga Rp 858,53 miliar. Untungnya, penjualan ke pihak berelasi naik, dari sebesar Rp 605,25 miliar tahun lalu jadi Rp 642,74 miliar di 2018. Penjualan ke PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) memberi kontribusi paling besar, yakni 73,81% dari total penjualan di 2018. Di 2017, kontribusi penjualan ke SIMP cuma 40,15%. Analis Mirae Asset Sekuritas Andi Wibowo Gunawan menulis dalam risetnya, penurunan penjualan ini tampaknya antara lain disebabkan penurunan produksi. Menurut data LSIP, produksi CPO di kuartal I-2018 turun 6,6% menjadi 88.843 ton. Sementara produksi inti sawit turun 10,6% jadi 23.760 ton. Sementara produksi tandan buah segar inti masih naik 2,1% menjadi 307.790 ton. Seiring dengan merosotnya penjualan, laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk pun merosot. Di kuartal satu 2017 nilainya Rp 327,69 miliar, tetapi di kuartal satu tahun ini cuma Rp 116 miliar. Fundamental kuat Analis NH Korindo Sekuritas Joni Wintarja melalui risetnya per 16 Mei memaparkan, meski kinerja keuangan LSIP melorot, tetapi sejatinya fundamental emiten ini masih cukup oke. Bila dibandingkan dengan perusahaan perkebunan sawit lain di Asia Tenggara, perusahaan yang
ngetop dengan sebutan Lonsum ini masih memiliki daya saing kuat. Angka penghasilan bersih Lonsum masih merupakan yang kedua tertinggi di kawasan Asia Tenggara, setelah First Resources Ltd.
Yield dividen emiten ini juga lumayan tinggi, rata-rata 4,1%. Selain itu, posisi kas emiten ini juga kuat, dengan tingkat utang yang sangat kecil. Joni juga menekankan, LSIP memiliki komitmen untuk menjalankan kegiatan usaha secara
low cost, dengan menggunakan praktik manajemen terbaik. Oleh karena itu, analis sepakat kinerja LSIP ke depan berpeluang membaik. Analis Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe berpendapat, penurunan harga CPO saat ini hanya bersifat sementara. Ia menilai, penurunan harga CPO saat ini masih wajar. "Harga CPO akan selalu turun di kuartal satu dan dua, namun akan membaik di kuartal tiga dan empat," jelas dia, kemarin.
Produksi LSIP ke depan juga akan membaik, seiring dengan pengembangan lahan area tanam emiten ini. Menurut catatan LSIP, luas area tanam di kuartal I lalu mencapai 115.264 hektare (ha). Dari situ, luas lahan sawit mencapai 95.304 ha. Rinciannya, tanaman dewasa 87.046 ha dan tanaman belum dewasa seluas 8.258 ha. Andi memberi rekomendasi tahan untuk LSIP. Ia mematok target harga saham ini di level Rp 1.200 per saham. Sementara Joni dan Kiswoyo sama-sama merekomendasikan beli LSIP. Joni memberi target harga LSIP sebesar Rp 1.380 per saham. Target harga Kiswoyo Rp 1.800 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati