KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja BUMN Karya dinilai sudah memasuki masa pemulihan, yang tercermin dari perolehan kontrak baru dari sejumlah BUMN Karya di kuartal I 2023. Meski begitu, BUMN Karya masih dihadapkan tantangan dari sisi permodalan. Hingga Maret 2023, PT Adhi Karya (Persero) Tbk (
ADHI) mencetak pertumbuhan kontrak baru hingga 109% menjadi Rp 8,9 triliun. Lalu, kontrak baru PT PP (Persero) Tbk (PTPP) tumbuh 32,13% menjadi Rp 4,08 triliun, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk membukukan kontrak baru Rp 4,16 triliun. "Dengan adanya peningkatan perolehan kontrak baru di kuartal I 2023, ada kemungkinan merupakan awal dari kebangkitan di sektor BUMN Karya," ujar Praktisi Pasar Modal Sunar Susanto kepada Kontan.co.id, Minggu (16/4).
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo juga menilai sejalan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Sektor industri konstruksi bangunan mulai mengalami pertumbuhan, dengan emiten-emiten yang bergerak dalam sektor tersebut juga berhasil mencetak pertumbuhan pendapatan selama 2 tahun terakhir pada periode 2021-2022.
Baca Juga: PTPP Optimistis dengan Kontrak Baru & Skema Pembayaran Progress Payment "Terlebih lgi pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan pembangunan infrastrtuktur, khususnya yang terkait dengan proyek IKN," tambahnya. Meski begitu, kedua analis menilai bahwa peningkatan kontrak baru sejalan dengan peningkatan tantangan dari sisi permodalan. Menurut Praska, di tengah era suku bunga tinggi, maka pencairan kebutuhan pendanaan via hutang akan menimbulkan konsekuensi beban pendanaan yang lebih mahal, khususnya pada emiten yang kondisi arus kasnya mengalami penurunan dan rasio hutang terhadap modal yang relatif tinggi atau di atas 3 kali. Sebagai informasi, akhir Desember 2022 WSKT mencatatkan arus kas operasi negatif sebesar Rp 106,58 miliar dari sebelumnya positif Rp 192,78 miliar. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) juga masih memiliki arus kas operasi negatif sebesar Rp 2,88 triliun meskipun ada perbaikan dari sebelumnya negatif Rp 3,73 triliun. ADHI dan PTPP memiliki arus kas operasi positif, tetapi nilainya mengalami penurunan. ADHI memiliki arus kas operasi sebesar Rp 1,22 triliun dari sebelumnya Rp 1,51 triliun dan PTPP sebesar Rp 268,44 miliar dari sebelumnya Rp 468,69 miliar.
Sunar pun menilai hal serupa. Kenaikan kontrak baru bisa jadi menambah beban keuangan yaitu kenaikan utang dan tekanan arus kas apabila sumber pendanaan kontrak baru tersebut tidak segera terealisasi. Apalagi, kata Sunar, jika arus kas tidak mencukupi untuk penyelesaian kontrak baru ada kemungkinan akan menggali utang baru yang akan meningkatkan rasio DER-nya. "Tetapi emiten juga ada opsi melakukan penjualan aset atau menerbitkan saham baru melalui skema right issue yang sudah dilakukan oleh WSKT dan ADHI," paparnya. Dari sisi liabilitas, WKST menurunkan utang sebesar 4,71% tetapi nilainya masih Rp 83,98 triliun. Kemudian WIKA mencatat kenaikan jumlah liabilitas 10,81% menjadi Rp 57,57 triliun dan PTPP naik 3,56% menjadi Rp 42,71 triliun. Sementara ADHI menurunkan jumlah liabilitas 8,99% menjadi Rp 31,16 triliun. "Dengan kondisi ketersediaan arus kas yang berkurang dan tingginya rasio Debt to Equity (DER) tentu akan menjadi hal yang berpotensi mengganggu rencana realisasi kontrak emiten," sambung Praska. Untuk prospek BUMN Karya, Praska menyebutkan secara industri masih positif karena sektor infrastruktur masih harapan penunjang mobilitas ekonomi di sektor riil sekaligus dapat menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Baca Juga: Waskita Karya (WSKT) Bukukan Kontrak Baru Rp 4,16 Triliun pada Kuartal I 2023 Adapun sentimen yang perlu diperhatikan adalah kondisi ketersediaan arus kas dari emiten-emiten konstruksi BUMN masing-masing hingga kondisi rasio hutangnya. "Selain itu, program rencana strategis pemerintah di bidang infrastruktur juga perlu diperhatikan sehingga dapat mengetahui mana emiten-emiten yang mendapatkan efek positif dari program pembangunan infrastruktur oleh pemerintah," jelasnya. Rekomendasi netral untuk saham-saham konstruksi BUMN Karya, seperti ADHI dan PTPP karena meskipun secara valuasi PBV sangat murah, di bawah 0,50 kali, harga saham masih dalam tren bearish jangka panjang. Sementara untuk WSKT dan WIKA ia tidak merekomendasikan lantaran arus kas operasi negatif dan masih mencetak rugi bersih 2022. Sunar juga melihat prospek BUMN Karya sampai dengan akhir tahun 2023 dan tahun pemilu 2024 masih belum menarik. Menurutnya, BUMN Karya mungkin setelah perhelatan Pemilu selesai baru ada potensi untuk dilirik apabila ada komitmen dari segi pendanaan untuk proyek infrastruktur dan IKN.
"Bagi investor yang berminat untuk menyicil buy untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan, PTPP menarik untuk buy karena EPS dan NPM-nya yang paling tinggi dibandingkan emiten BUMN Karya yang lain," katanya. Hal ini tak lepas dari rencana PTPP untuk melakukan divestasi sebesar Rp 1,4 triliun demi menjamin arus kas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .