KONTAN.CO.ID - Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan di kisaran 3,75% hingga 4% pada awal November lalu. Kenaikan itu pun melemahkan mata uang rupiah terhadap dolar. Naiknya suku bunga acuan itu nyatanya berpengaruh juga kepada utang perusahaan dalam mata uang asing. Perusahaan yang menggunakan sumber dana mata uang asing berisiko terkena
exposure atas fluktuasi nilai tukar. Tekanan itu juga akan semakin besar karena ancaman inflasi yang diprediksi datang tahun depan. Kombinasi kenaikan suku bunga dan ancaman inflasi berpengaruh terhadap berbagai sektor industri di Indonesia, termasuk emiten menara telekomunikasi seperti PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). Namun, bila dilihat dari komposisi utang, Mitratel lebih tahan menghadapi fluktuasi kurs.
Berdasarkan laporan keuangan, Mitratel sangat tangguh menghadapi fluktuasi kurs karena utang yang relatif rendah dan hanya dalam rupiah. Mitratel sendiri memiliki utang sebesar Rp15.602 miliar pada kuartal-III 2022 dan tidak ada utang dalam dolar. Mitratel memiliki
leverage (pinjaman dana) rendah tanpa eksposur terhadap risiko nilai tukar mata uang asing, sehingga Mitratel mampu menghadapi tantangan makro ekonomi dengan catatan
net-debt to EBITDA 1,7x. Mitratel juga memiliki finansial yang cukup stabil. Per akhir September 2022 lalu, posisi rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) Mitratel hanya 0,4 kali. Angka ini jauh di bawah DER industri yang mencapai 1,8 kali. Di tengah tren pelemahan mata uang rupiah terhadap berbagai mata uang asing dan rasio utang, tentu kondisi ini sangat menguntungkan bagi Mitratel. Apalagi, para pemain di industri menara telekomunikasi lainnya rata-rata memiliki porsi utang mata uang asing mencapai 27%. Dengan
gearing (tingkat utang) yang rendah dan utang hanya dalam bentuk rupiah, Mitratel dapat lebih ekspansif meningkatkan alat produksinya. Analis Pasar Modal Mandiri Sekuritas, Henry Tedja mengungkapkan, Mitratel memiliki neraca keuangan solid dengan kontrak jangka panjang dengan perusahaan telekomunikasi, terlebih setelah mengonsolidasi menara Telkomsel. Secara struktur biaya, industri menara memang bersifat capital intensive, tapi memiliki pengeluaran yang relatif tetap. “Mitratel punya neraca keuangan yang solid, apalagi setelah konsolidasi menara Telkomsel. Industri menara memang sifatnya modal tetap (capital intensive), sehingga pengeluarannya masih bisa dikontrol,” ungkap Henry. Meskipun sempat dibayangi juga oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), hal tersebut diprediksi tidak mempengaruhi kinerja Mitratel di tahun depan. "Hal ini tercermin dari EBITDA margin perusahaan menara yang cukup tinggi, termasuk Mitratel. Karena itu kami melihat dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja perusahaan relatif terbatas," ujar Henry. Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada punya pandangan yang sama. Ia menjelaskan, utang dan bentuk utang sering menjadi perhatian investor atau pelaku pasar. Perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk mata uang asing dapat memberikan dampak negatif jika terjadi perubahan dalam mata uang tersebut. Reza menilai, kinerja Mitratel akan terus tumbuh tanpa beban akibat selisih kurs. “Dengan tidak adanya utang dalam bentuk mata uang asing, Mitratel tidak terkena beban tambahan dari beban akibat selisih kurs,” kata Reza. Kondisi yang berbeda dengan kompetitor tentu sangat menguntungkan Mitratel karena tidak perlu ‘panik’ membukukan rugi kurs mata uang asing atau merespon kenaikan beban bunga utang dalam mata uang asing. Dengan kondisi tersebut, Mitratel berpotensi mencetak profit dan ekspansi baik secara organik maupun inorganik.
Potensi ekspansi Dengan utang hanya dalam rupiah, Mitratel menjadi lebih mudah dalam melakukan ekspansi. Bagi pelaku pasar, kabar potensi akuisisi juga sangat menggembirakan karena Mitratel menjadi emiten menara telekomunikasi dengan tingkat investasi yang menjanjikan. Tak hanya menara, Mitratel juga menyiapkan infrastruktur telekomunikasi seperti
fiber optic dan
power to tower yang tersebar di wilayah Indonesia, termasuk luar Pulau Jawa. Hal ini bisa memberikan kemudahan bagi operator telekomunikasi maupun non-operator untuk memanfaatkan solusi terintegrasi. Mitratel konsisten berinisiatif menyiapkan
roadmap ke
Digital Infraco untuk pengembangan portofolio yang berfokus pada penyediaan infrastruktur
fiber optic/tower fiberization. Pada tahun 2022, Mitratel sedang mengincar penambahan 1.000
tower dan menargetkan 2.500 kolokasi. Secara keuangan, Mitratel menargetkan pendapatan tumbuh sebesar 12%, peningkatan EBITDA dengan persentase 15%, dan belanja modal sebanyak Rp14 triliun. Bila tercapai, hal tersebut merupakan kesempatan baik untuk Mitratel di tahun 2023. Sebab, bisnis
tower infrastruktur yang sudah dibangun Mitratel akan membuat margin yang didapat dari industri
tower menjadi lebih menarik, karena skala bisnisnya semakin besar. Henry memperkirakan, target tersebut bukan hal yang sulit diwujudkan Mitratel. Berdasarkan laporan keuangan yang baik di kuartal-III 2022, ia menganggap Mitratel mampu meningkatkan
outlook pertumbuhan kinerja dan EBITDA dalam dua tahun mendatang.
"Hal ini akan meningkatkan
outlook pertumbuhan dan EBITDA Mitratel dalam dua tahun mendatang," imbuh Henry. Alasannya, akuisisi menara yang dilakukan Mitratel terhadap 6.000 menara milik Telkomsel sebelumnya akan berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Terlebih menara tersebut memiliki nilai dan lokasi yang strategis. Akuisisi ini juga lebih cepat dari target awal yang dicanangkan, sehingga memungkinkan perusahaan melakukan
cross-selling lebih cepat kepada perusahaan telekomunikasi lainnya. Prediksi kedepan Mitratel akan tetap agresif mengupayakan penambahan alat produksi baik secara organik (membangun) maupun inorganik (akuisisi). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Indah Sulistyorini