Gadai emas berbau spekulasi sangat tidak syariah



Sengketa BRI Syariah dengan nasabah gadai emas menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Pelaku industri khawatir jika persoalan ini tak terselesaikan dengan baik, timbul ketidakpercayaan masyarakat. Butet Kertaredjasa, dalam rencana class actionnya, akan menggugat penerapan nilai-nilai syariah di bank syariah tersebut lantaran dianggap jauh dari prinsip syariah. Lalu, apa solusinya?

Praktik gadai menggadai sangat dianjurkan dalam Islam. Tujuan utamanya untuk menolong pihak yang membutuhkan. Dalilnya tertulis jelas dalam Al-Quran dan Hadis.

Sejarah juga mencatat, Nabi Muhammad pernah melakukan gadai. Ummul Mukminin Aisyah RA bercerita Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berutang. Suaminya itu lalu menyerahkan baju besi sebagai agunan. Cerita Aisyah ini dibukukan dalam kitab hadis Imam Bukhori dan Imam Muslim dan menjadi dalil tentang gadai.


Dalam kesempatan berbeda, Muhammad juga menjelaskan kepada para sahabat tentang hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam gadai, yang muncul setelah serah terima barang.

Dari dalil naqli dan amalan Rasulullah itu, para ulama merumuskan hukum gadai agar lebih praktis. Mereka juga berijtihad dalam mengatur ujrah atau upah, tanpa terjebak praktik riba yang diharamkan Quran.

Penafsiran tentang gadai atau rahn ini terus berkembang, mengikuti arus zaman. Namun, meski terus dimodifikasi, tetap ada nilai dasar yang tidak boleh dilanggar. Apa saja nilai dasar itu?

Rahn, qardh dan ijarah

Menurut Prayudha Moelya, Kepala Unit Usaha Syariah Bank Danamon, gadai syariah harus memenuhi tiga aspek. Yakni, ada alasan kebutuhan (emergency), penyerahan uang, dan pengalihan hak. Jadi, bukan rukun dan syarat gadai saja yang terpenuhi, seperti pihak yang menggadai, pihak yang menerima gadai, barang yang digadaikan dan akad.

Ketiga aspek ini juga ada filosofinya. Prayudha menjelaskan, gadai terjadi karena ada pihak yang butuh atau dalam keadaan kepepet. Ia lalu menyerahkan emas (pengalihan hak) dan menerima dana tunai. Duit ini bisa digunakan untuk belanja kebutuhan atau modal usaha. "Intinya ada pengalihan hak atas emas dan penyerahan uang. Dan emas itu benar-benar milik si penggadai," katanya.

Karena ketiga aspek ini, gadai syariah selalu menerapkan tiga jenis akad: akad rahn, qardh dan ijarah. Ketiganya saling terkait.

Akad rahn digunakan ketika nasabah menyerahkan emas ke bank. Sedangkan akad qardh digunakan saat nasabah memperoleh dana dari bank, setelah penyerahan aset atau emas.

Qardh atau pinjam meminjam, tidak mengenal bunga. Jika meminjam Rp 100, harus kembali Rp 100. Tapi, bank boleh mengenakan biaya atas pemeliharaan aset yang digadaikan nasabah. Biaya ini bahasa Arabnya ujroh atau upah. Akadnya dikenal dengan istilah ijarah.

Skema yang diterima Butet dan kawan-kawan, agak melenceng dari prinsip syariah. "Yang terjadi adalah pengadaan atau pembelian emas, bukan penggadaian. Kalau niatnya pengadaan emas, maka akadnya adalah murabahah atau jual beli, bukan gadai," kata Prayudha.

Selain itu, Butet dan lainnya melakukan gadai bukan karena membutuhkan uang. Mereka justru keluar uang sebesar 10% dari harga emas. Jadi, ketika akad, tidak ada pengalihan emas. Pasalnya, kepemilikan nasabah hanya 10%. Sisanya milik bank.

Unsur spekulasi di transaksi semacam ini justru lebih dominan. Nasabah berharap harga emas meroket, lalu menjualnya saat tinggi.

Konsekuensi lain, duit bank terbenam di emas, tidak mengalir ke sektor riil. "Skema ini bukan cuma membahayakan bank dan nasabah, juga melenceng dari tujuan syariah. Langkah BI meluruskan bisnis ini sudah tepat," katanya.

Catatan saja, BRIS menegaskan transaksi dengan Butet dan kawan-kawan adalah gadai emas. Penyerahan fisik emas terjadi. Namun, yang perlu digarisbawahi, emas itu milik bank. Sebab, bank mendanai pembelian emas hingga 90%. Sedangkan nasabah hanya membayar 10%. Marketing bank syariah mempopulerkan skema ini dengan sebutan "Beli-Gadai".

Win-win solution

Sumber KONTAN di Dewan Syariah Nasional (DSN) menilai, skema semacam ini sebagai praktik jual-beli emas tidak tunai dan tidak masuk kodifikasi produk syariah. "Jika tak masuk daftar, bank harus izin ke BI. Apakah regulator mengizinkan skema itu, ini harus di clear-kan," katanya.

Menurut pengamat bank syariah ini, penyimpangan gadai emas syariah bermula dari maraknya investasi berkebun emas. Nasabah sangat antusias karena harga emas sedang melonjak, imbas ketidakpastian global. "Beberapa bank syariah aktif mensponsori seminar investasi ini," katanya.

Prayudha dan anggota DSN ini berharap, BRIS dan nasabah bisa menemukan solusi sama-sama untung (win-win solution) atau sama-sama rugi.

Salah satu opsi, bank dan nasabah mengubah akad transaksi dari gadai emas ke pembelian emas atau murabahah. Kedua pihak menyepakati tenor pinjaman dan besaran angsuran. "Mereka juga perlu menyepakati harga untuk menentukan utang, apakah mengacu ke harga emas yang lampau atau saat perjanjian restrukturisasi ditandatangani," katanya.

Lalu, bagaimana dengan pembatasan plafon pembiayaan Rp 250 juta per nasabah? Bank minta keringanan ke BI. "Regulator mesti bijak. Saat bikin aturan, BI kan seharusnya memperhitungkan konsekuensi yang bakal muncul. Jadi seharusnya ada pengecualian, case by case," katanya.

Sumber KONTAN berharap, masalah ini tidak berlanjut ke ranah hukum. Di pengadilan yang dicari adalah siapa yang salah dan siapa yang kena sanksi. Tujuannya bukan lagi mencari solusi. "Padahal, sejak awal, semua pihak ikut bersalah," katanya. Ia berharap tak ada lagi produk syariah yang berbau spekulasi, karena spekulasi lebih dekat kepada judi.

Corporate Secretary Group Head BRI Syariah, Lukita T. Prakasa, enggan berkomentar banyak. Ia hanya mengulangi penjelasannya bahwa gadai emas BRIS sesuai konsep gadai pada umumnya.

Soal jalan keluar, Lukita menegaskan, perseroan menolak opsi restrukturisasi, karena belum ada keputusan dari BI. "Kenapa BRIS harus bertanggung jawab? Coba jelaskan!" katanya balik bertanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: