Sejak SMA, Dian Nugroho berniat menjadi tentara. Namun, keinginannya pupus setelah ia mengalami gangguan mata. Ia pun melanjutkan sekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah ini minatnya terhadap bisnis mulai muncul.Sejak kecil, Dian Nugroho sama sekali tak pernah punya keinginan menjadi seorang pengusaha. Kebetulan latar belakang keluarganya juga jauh dari dunia bisnis. "Kedua orang tua saya adalah pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) tanpa ada darah wirausaha mengalir dalam darahnya," kata Dian.Saat SMA, anak bungsu dari empat bersaudara ini sempat memiliki keinginan untuk menjadi tentara. Untuk mewujudkan keinginan itu, ia memilih melanjutkan sekolah di SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah. Sekolah ini dipilih karena merupakan sekolah persiapan sebelum masuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Namun, keinginannya menjadi tentara kandas di tengah jalan. Tiba-tiba saja, ia mengalami gangguan mata. Alhasil, Dian harus memakai kacamata dan mengubur impian menjadi tentara.Namun, Dian tak mau larut dalam kekecewaan yang mendalam. Karena kecerdasannya, setamat SMA, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengambil jurusan teknik industri.Selama kuliah, ia dikenal sebagai mahasiswa yang supel. Selain dengan teman-teman kuliah, ia juga berteman baik dengan para dosen. Kedekatannya dengan salah seorang dosen membawa berkah tersendiri buat Dian. Karena dianggap ulet, seorang dosen meminjaminya uang Rp 20 juta sebagai modal berjualan tinta printer. Dosen itu juga meminjamkan rukonya sebagai tempat berjualan.Lantaran masih minim pengalaman bisnis, dosen itu menitipkan Dian kepada salah seorang rekannya yang menjadi pengusaha tekstil untuk mendalami ilmu kewirausahaan. "Kedua orang itulah yang mengubah paradigma saya tentang wirausaha," ujarnya.Sejak itu, Dian pun mantap untuk terjun ke dunia bisnis dengan membuka usaha sendiri. Keputusan dia ini sempat mendapat cibiran dari beberapa teman yang banyak bekerja di perusahaan-perusahaan ternama. Bahkan, sang ibu juga mengkritik keputusan Dian untuk berbisnis. "Ibu ingin saya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) bukan pedagang, terlebih saya adalah anak lelaki beliau satu-satunya," jelasnya.Namun, tekadnya untuk terjun ke dunia usaha sudah sangat kuat. Pengalaman selama membuka toko printer membuat insting dan wawasan bisnis Dian berkembang pesat.Ia pun mempunyai filosofi "to be the first" bukan "to be the best". Filosofi untuk selalu menjadi yang pertama, ia buktikan dalam usaha digital printing dan bordir komputernya itu. Dia memang tergolong pemain lama di usaha digital printing dan bordir komputer. Saat ia mendirikan usaha itu, pasar masih sepi pemain. Hingga saat ini, Dian masih tidak berhenti melihat peluang bisnis. Padahal, pengalaman dia di dunia bisnis tidak selalu manis. Contohnya, pada tahun 2007-2008 saat ia menggarap bisnis jasa pengurukan tanah Pasar Induk Kramat Jati. Selesai menjalankan kewajibannya, ia dibayar dengan cek kosong senilai Rp 200 juta oleh perusahaan konstruksi yang menjadi mitra usahanya saat itu. "Itu pelajaran buat saya, bahwa bisnis dengan high return pasti high risk. jadi saya harus hati-hati," ucapnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Gagal jadi tentara, Dian terpikat dunia bisnis (2)
Sejak SMA, Dian Nugroho berniat menjadi tentara. Namun, keinginannya pupus setelah ia mengalami gangguan mata. Ia pun melanjutkan sekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah ini minatnya terhadap bisnis mulai muncul.Sejak kecil, Dian Nugroho sama sekali tak pernah punya keinginan menjadi seorang pengusaha. Kebetulan latar belakang keluarganya juga jauh dari dunia bisnis. "Kedua orang tua saya adalah pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) tanpa ada darah wirausaha mengalir dalam darahnya," kata Dian.Saat SMA, anak bungsu dari empat bersaudara ini sempat memiliki keinginan untuk menjadi tentara. Untuk mewujudkan keinginan itu, ia memilih melanjutkan sekolah di SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah. Sekolah ini dipilih karena merupakan sekolah persiapan sebelum masuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Namun, keinginannya menjadi tentara kandas di tengah jalan. Tiba-tiba saja, ia mengalami gangguan mata. Alhasil, Dian harus memakai kacamata dan mengubur impian menjadi tentara.Namun, Dian tak mau larut dalam kekecewaan yang mendalam. Karena kecerdasannya, setamat SMA, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengambil jurusan teknik industri.Selama kuliah, ia dikenal sebagai mahasiswa yang supel. Selain dengan teman-teman kuliah, ia juga berteman baik dengan para dosen. Kedekatannya dengan salah seorang dosen membawa berkah tersendiri buat Dian. Karena dianggap ulet, seorang dosen meminjaminya uang Rp 20 juta sebagai modal berjualan tinta printer. Dosen itu juga meminjamkan rukonya sebagai tempat berjualan.Lantaran masih minim pengalaman bisnis, dosen itu menitipkan Dian kepada salah seorang rekannya yang menjadi pengusaha tekstil untuk mendalami ilmu kewirausahaan. "Kedua orang itulah yang mengubah paradigma saya tentang wirausaha," ujarnya.Sejak itu, Dian pun mantap untuk terjun ke dunia bisnis dengan membuka usaha sendiri. Keputusan dia ini sempat mendapat cibiran dari beberapa teman yang banyak bekerja di perusahaan-perusahaan ternama. Bahkan, sang ibu juga mengkritik keputusan Dian untuk berbisnis. "Ibu ingin saya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) bukan pedagang, terlebih saya adalah anak lelaki beliau satu-satunya," jelasnya.Namun, tekadnya untuk terjun ke dunia usaha sudah sangat kuat. Pengalaman selama membuka toko printer membuat insting dan wawasan bisnis Dian berkembang pesat.Ia pun mempunyai filosofi "to be the first" bukan "to be the best". Filosofi untuk selalu menjadi yang pertama, ia buktikan dalam usaha digital printing dan bordir komputernya itu. Dia memang tergolong pemain lama di usaha digital printing dan bordir komputer. Saat ia mendirikan usaha itu, pasar masih sepi pemain. Hingga saat ini, Dian masih tidak berhenti melihat peluang bisnis. Padahal, pengalaman dia di dunia bisnis tidak selalu manis. Contohnya, pada tahun 2007-2008 saat ia menggarap bisnis jasa pengurukan tanah Pasar Induk Kramat Jati. Selesai menjalankan kewajibannya, ia dibayar dengan cek kosong senilai Rp 200 juta oleh perusahaan konstruksi yang menjadi mitra usahanya saat itu. "Itu pelajaran buat saya, bahwa bisnis dengan high return pasti high risk. jadi saya harus hati-hati," ucapnya. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News