SOLO. Bank Indonesia (BI) menyiapkan sederet sanksi bagi bank yang gagal memenuhi kewajiban penyaluran kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mulai dari sanksi administratif hingga penurunan tingkat kesehatan bank. Yang terakhir ini terbilang berat karena dapat menurunkan posisi bank. Bisa juga berimplikasi ke struktur kepemilikan saham, apabila bank gagal memperbaiki diri dalam kurun waktu tertentu.Adapun sanksi administratif, BI tidak hanya membuat teguran tertulis. Otoritas ini juga menetapkan "pinalti" bagi bank yang gagal memenuhi kuota. "Bank harus menyisihkan sebagian dana untuk bikin pelatihan UMKM," kata Bandoe Widiarto, Asisten Direktur Departemen Kredit, BPR dan UMKM BI, Sabtu (15/12).Misalkan bank A menargetkan kredit (outstanding) senilai Rp 100 triliun. Karena bank harus mengalokasikan sebesar 20% untuk UMKM, maka kredit senilai Rp 20 triliun harus mengalir ke UMKM. Andaikan bank hanya mampu menyalurkan kredit UMKM Rp 17 triliun, artinya ada kewajiban senilai Rp 3 triliun yang belum terpenuhi. Dari sinilah BI menghitung "pinalti" untuk bank. "Tapi tidak semua dananya digunakan untuk pelatihan UMKM. Hanya sebagian saja," katanya.Dalam menjalani sanksi, bukan berarti bank memakai dana kredit UMKM yang belum tersalurkan untuk membiayai pelatihan. Bank bisa mengambil anggaran corporate social responsibility (CSR) atau membebankannya ke biaya. "Daripada biaya operasional habis untuk hal konsumtif, seperti undian hadiah, lebih baik digunakan untuk pelatihan UMKM," katanya.Penerapan sanksi seperti ini sebenarnya terinspirasi dari keluhan bankir. Selama ini bankir mengaku susah menggenjot kredit UMKM karena merasa tidak kenal dengan pelaku usaha. Mereka khawatir kredit bermasalah (NPL) melonjak akibat sembarangan mendanai UMKM. "Nah, kewajiban bikin pelatihan akan mendekatkan bank dengan UMKM," ujarnya.BI akan menegur bank yang tidak melaksanakan kewajiban ini. Andai tetap membandel, peringkat kesehatannya bisa diturunkan. Direksinya juga bisa di fit and proper test ulang karena dianggap tidak patuh pada aturan dan gagal memenuhi komitmen.BI menargetkan beleid ini terbit secepatnya, dengan masa transisi selama 2013-2014. Nah, mulai 2015, bank terkena kewajiban. Nantinya alokasi kredit UMKM sebesar 20% berjalan penuh pada 2018. "Jika langsung diterapkan, memicu bajak membajak debitur. Ini tidak sehat buat industri dan drastis," katanya.Bagi bank yang tidak memiliki keahlian di segmen UMKM, BI mempersilahkan bank bikin pembiayaan bersama (joint financing) atau menyalurkan kredit lewat BPR, Koperasi maupun LKM. "Bank asing bisa membiayai trade finance UMKM. Ini bisa diperhitungkan sebagai kredit UMKM," katanya.Per Oktober 2012 kredit UMKM mencapai Rp 522,64 triliun, tumbuh 13,3% (yoy). Sedangkan total kredit mencapai Rp 2.653,67 triliun, meningkat 22,7%. Pangsa kredit UMKM terhadap total kredit baru sebesar 19,7%.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Gagal penuhi kuota, bank wajib latih UMKM
SOLO. Bank Indonesia (BI) menyiapkan sederet sanksi bagi bank yang gagal memenuhi kewajiban penyaluran kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mulai dari sanksi administratif hingga penurunan tingkat kesehatan bank. Yang terakhir ini terbilang berat karena dapat menurunkan posisi bank. Bisa juga berimplikasi ke struktur kepemilikan saham, apabila bank gagal memperbaiki diri dalam kurun waktu tertentu.Adapun sanksi administratif, BI tidak hanya membuat teguran tertulis. Otoritas ini juga menetapkan "pinalti" bagi bank yang gagal memenuhi kuota. "Bank harus menyisihkan sebagian dana untuk bikin pelatihan UMKM," kata Bandoe Widiarto, Asisten Direktur Departemen Kredit, BPR dan UMKM BI, Sabtu (15/12).Misalkan bank A menargetkan kredit (outstanding) senilai Rp 100 triliun. Karena bank harus mengalokasikan sebesar 20% untuk UMKM, maka kredit senilai Rp 20 triliun harus mengalir ke UMKM. Andaikan bank hanya mampu menyalurkan kredit UMKM Rp 17 triliun, artinya ada kewajiban senilai Rp 3 triliun yang belum terpenuhi. Dari sinilah BI menghitung "pinalti" untuk bank. "Tapi tidak semua dananya digunakan untuk pelatihan UMKM. Hanya sebagian saja," katanya.Dalam menjalani sanksi, bukan berarti bank memakai dana kredit UMKM yang belum tersalurkan untuk membiayai pelatihan. Bank bisa mengambil anggaran corporate social responsibility (CSR) atau membebankannya ke biaya. "Daripada biaya operasional habis untuk hal konsumtif, seperti undian hadiah, lebih baik digunakan untuk pelatihan UMKM," katanya.Penerapan sanksi seperti ini sebenarnya terinspirasi dari keluhan bankir. Selama ini bankir mengaku susah menggenjot kredit UMKM karena merasa tidak kenal dengan pelaku usaha. Mereka khawatir kredit bermasalah (NPL) melonjak akibat sembarangan mendanai UMKM. "Nah, kewajiban bikin pelatihan akan mendekatkan bank dengan UMKM," ujarnya.BI akan menegur bank yang tidak melaksanakan kewajiban ini. Andai tetap membandel, peringkat kesehatannya bisa diturunkan. Direksinya juga bisa di fit and proper test ulang karena dianggap tidak patuh pada aturan dan gagal memenuhi komitmen.BI menargetkan beleid ini terbit secepatnya, dengan masa transisi selama 2013-2014. Nah, mulai 2015, bank terkena kewajiban. Nantinya alokasi kredit UMKM sebesar 20% berjalan penuh pada 2018. "Jika langsung diterapkan, memicu bajak membajak debitur. Ini tidak sehat buat industri dan drastis," katanya.Bagi bank yang tidak memiliki keahlian di segmen UMKM, BI mempersilahkan bank bikin pembiayaan bersama (joint financing) atau menyalurkan kredit lewat BPR, Koperasi maupun LKM. "Bank asing bisa membiayai trade finance UMKM. Ini bisa diperhitungkan sebagai kredit UMKM," katanya.Per Oktober 2012 kredit UMKM mencapai Rp 522,64 triliun, tumbuh 13,3% (yoy). Sedangkan total kredit mencapai Rp 2.653,67 triliun, meningkat 22,7%. Pangsa kredit UMKM terhadap total kredit baru sebesar 19,7%.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News