Sebuah spanduk besar terpampang megah di ujung perempatan jalan utama desa tempat saya berasal. Isinya adalah laporan penggunaan Dana Desa selama setahun terakhir, yang sebagian besar digunakan untuk perbaikan jalan. Setelah mendapatkan Dana Desa, para kepala desa tampaknya berlomba-lomba untuk memberikan laporan yang mendetail tentang bagaimana Dana Desa yang besar ini telah dibelanjakan dalam satu tahun anggaran yang telah berjalan. Fenomena ini setidaknya menggambarkan dua hal penting. Pertama, adanya indikasi kepala desa semakin menyadari bahwa keterbukaan dan transparansi merupakan isu sentral dalam pengelolaan Dana Desa. Dengan melaporkan penggunaan anggaran, kepala desa diasumsikan telah memberikan akses kepada masyarakat untuk menilai optimalisasi pengelolaan dana yang telah diberikan oleh pemerintah kepada desa mereka. Kedua, fenomena sosialisasi laporan penggunaan Dana Desa ini juga menegaskan peranan masyarakat sebagai objek pembangunan desa. Melalui pelaporan Dana Desa ini, kita dapat melihat bahwa mayoritas dana digunakan untuk membangun infrastruktur seperti perbaikan jalan, pembangunan balai desa, pembelian lampu jaga di pinggiran jalan desa, dan berbagai detail infrastruktur lainnya.
Banyak pihak menganggap bahwa pembelanjaan Dana Desa untuk kepentingan perkembangan infrastruktur desa merupakan keputusan belanja yang tepat karena dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Melalui pembelanjaan infrastruktur, Dana Desa yang didesain untuk masyarakat desa dianggap telah dikembalikan untuk masyarakat desa. Benarkah dengan transparansi ini, desa telah mencapai sebuah kondisi yang menempatkan masyarakat sebagai target pembangunan? Apakah pelaporan keuangan adalah langkah paripurna dalam sebuah pengelolaan Dana Desa? Apa yang dapat kita kembangkan supaya kehidupan masyarakat desa yang lebih progresif lagi? Pertanyaan tersebut menjadi penting dijawab setelah kita secara kritis mencermati penggunaan anggaran yang dilakukan oleh desa. Jika kita perhatikan, mayoritas desa menggunakan Dana Desa untuk kepentingan infrastruktur. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya keliru, tetapi menggunakan seluruh penggunaan Dana Desa untuk kepentingan infrastruktur sebenarnya sekedar memposisikan masyarakat desa sebagai objek pembangunan dan mengabaikan peran penting masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Sebagai objek, masyarakat desa ditempatkan sebagai penerima layanan. Padahal, masyarakat desa juga memiliki kapasitas untuk berperan sebagai subjek yang secara aktif mengelola dan merancang sendiri
learning design. Di banyak desa, penyusunan anggaran Dana Desa acapkali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat. Beberapa desa hanya melibatkan perangkat desa yang menjadi lingkaran inti dari orang yang berada di pusat kekuasaan. Menurut saya, setidaknya ada dua kemungkinan mengapa hal ini terjadi. Satu, adanya sistem kekuasaan yang bersifat oligarki. Orang-orang yang memiliki kuasa mengelola desa terhubung dengan orang-orang lain dengan kepentingan yang sama dan mengabaikan orang-orang lain yang memiliki kepentingan yang berseberangan. Singkat kata, di desa juga terdapat politik dan kepentingan. Masih jarang Analisis di atas memberikan sebuah insight penting untuk kita bahwa di era kontemporer, kita tidak dapat lagi melihat desa sebagai sekumpulan masyarakat yang naif. Desa merupakan sebuah struktur sosial dengan segala kompleksitasnya. Dalam pemilihan kepala desa, ada beragam situasi pelik yang berisi benturan kepentingan dari golongan-golongan di kalangan masyarakat desa. Terlebih dalam struktur interaksi masyarakat desa, ada orang-orang tua yang dianggap memiliki referent power, yakni orang-orang yang secara legal tidak memiliki jabatan, tetapi suaranya sangat diperhitungkan dalam membuat keputusan. Sistem oligarki membuat penyusunan anggaran penggunaan Dana Desa tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dua, masih rendahnya kepercayaan kepala dan perangkat desa pada masyarakat. Kepala dan perangkat desa kerap masih memiliki perspektif bahwa masyarakat adalah objek layanan yang belum memiliki kapasitas untuk dilibatkan aktif. Kalau pun dilibatkan, keterlibatannya kerap hanya sebatas menanyakan aspirasi mereka, dan jarang hingga sampai pada tahap pemberian otoritas untuk mengelola Dana Desa. Efeknya, anggaran Dana Desa yang disusun hanya terfokus untuk kepentingan infrastruktur dan sedikit sekali, jika kita menghindari untuk mengatakan tidak ada, yang dialokasikan untuk kepentingan pengembangan diri masyarakat. Sulit bagi kita untuk menemukan desa yang mengelola masyarakat sebagai sebuah learning community, yang memungkinkan masyarakat memiliki akses belajar sehingga memiliki kompetensi baru yang dapat membuat mereka dapat hidup dan memiliki employability yang lebih baik. Berapa banyak kepala desa yang telah mencoba merancang pengembangan diri masyarakat desa? Sejauhmana kepala desa mengetahui secara persis apa kompetensi unggulan yang dimiliki oleh masyarakatnya dan membuat sebuah program pengembangan diri untuk memfasilitasi itu? Pertanyaan yang lebih mendasar, berapa persen masyarakat desa yang tidak memiliki pekerjaan dan berapa persen lainnya yang memiliki skil tertentu namun belum sesuai standar ekspektasi level profesional? Adakah program kerja dan anggaran Dana Desa yang dialokasikan untuk memberi pelatihan kepada kelompok masyarakat desa yang termasuk ke dalam kategori ini? Saya rasa jarang. Pembangunan infrastruktur adalah hal yang positif. Namun jika besaran anggaran pembangunan infrastruktur desa membuat aspek pengembangan diri masyarakat desa menjadi nihil, maka esensi mengapa Dana Desa ini ada menjadi tercederai.
Unsur transparansi pengelolaan Dana Desa tidak boleh hanya diterjemahkan sekedar sebagai pelaporan penggunaan dana dengan spanduk besar di perempatan jalan desa. Kita harus mulai berani meningkatkan keterlibatan aktif masyarakat desa dalam penyusunan anggaran desa, dan mengalokasikan Dana Desa untuk pengembangan diri masyarakat desa. Harapannya, masyarakat desa akan menjadi learning community yang terus berkembang. Alhasil, mereka menjadi aset dan investasi untuk kemajuan desa itu sendiri.•
Jony Eko Yulianto Dosen Psikologi Sosial Universitas Ciputra Surabaya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi