Gakoptindo: KUR untuk perajin tempe masih sulit



JAKARTA. Para produsen tempe dinilai perlu beralih dari cara produksi tradisional ke cara produksi modern untuk menghadapi persaingan di pasar bebas. Hampir semua kalangan menyukainya bahkan sudah mendunia. Sayangnya, masih banyak sentra produksi tempe tanah air yang menggunakan cara-cara manual dalam memproduksi tempe lantaran terkendala permodalan.

Ketua Gabungan Koperasi Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin bilang, pihaknya sudah melakukan sosialisasi terkait penggunaan alat produksi tempe modern. Menurutnya, banyak perajin tempe tertarik untuk mengubah cara produksi tempe menjadi lebih higienis. “Mereka tertarik untuk bikin pakai alat modern karena lebih cepat. Kalau cara tradisional bisa beberapa jam, tetapi kalau cara modern bisa 15 menit selesai,” katanya.

Namun begitu, pihaknya menyayangkan sulitnya mendapat permodalan dari perbankan yang dapat digunakan untuk pengadaan alat produksi berbahan stainless tersebut. Aip mengkritisi bantuan pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang implementasinya belum berpihak pada produsen tempe. Padahal, produsen tempe sudah menjalani usaha ini secara turun-menurun dari tahun ke tahun.


Dia bilang, perbankan mengharuskan usaha kecil memiliki jaminan untuk mendapat pinjaman berupa KUR. Padahal, dari 100 orang perajin tempe, hanya sekitar tiga sampai lima orang yang memiliki jaminan. “Harusnya pemerintah membantu yang tidak punya jaminan,” imbuhnya.

Menurut Aip, dari sekitar 115.000 perajin tempe di Indonesia, belum ada 1% yang sudah beralih pada cara modern tersebut. Padahal, tempe kini bukan lagi makanan biasa, melainkan sudah mendunia karena juga diminati oleh pasar luar negeri, seperti Jepang.

Salah satu perajin tempe di Kelurahan Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kisno, bilang, pihaknya pernah mendapat pelatihan tentang tata cara produksi tempe yang higienis. “Saya pernah disekolahkan selama seminggu oleh Kopti tentang permasalahan yang dihadapi oleh perajin tempe yang menggunakan cara manual dalam produksi,” imbuhnya.

Kisno berkisah, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Kopti dalam produksi tempe, di antaranya tempat produksi yang tidak layak, penggunaan alat produksi yang tidak higienis, dan proses pengepakan yang masih jauh berbeda dengan negara maju. Namun begitu, dia menyayangkan belum adanya dukungan dari pemerintah untuk mengupayakan terwujudnya pengadaan alat produksi tersebut. “Itu harus ada yang menopang untuk permodalan, misal dari pemerintah,” kata Kisno.

Ada sekitar belasan perajin tempe di wilayah tersebut. Kisno mengaku, selama ini pihaknya masih menggunakan cara tradisional dalam memproduksi tempe. Meski tidak lagi menginjak-injak kacang kedelai, alat yang digunakan oleh para perajin di sana untuk merebus kedelai masih menggunakan peralatan yang terbuat dari kayu. Proses pembuatan tempe pun memakan waktu sekitar 2 hari 2 malam. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini