Galangan kapal Batam minta kepastian pungutan bea masuk anti-dumping pelat baja



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri galangan kapal di kawasan Batam, Kepulauan Riau panik bukan kepalang. Nasib usaha mereka digantung pemerintah yang belum juga memutuskan soal pungutan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap barang berbahan baku pelat baja atau hot-rolled plate (HRP).

Semua ini bermula dari layangan surat nota dinas dari Direktur Fasilitas Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pada 25 Januari lalu. Surat dengan nomor ND.79/BC.03/2019 merupakan penegasan atas pengenaan bea masuk tambahan di Kawasan Bebas yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120 Tahun 2017.

PMK Nomor 120/2017 sendiri mengatur Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai. Beleid ini diundangkan pada 4 September 2017 dan mulai berlaku 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Pada pasal 61 ayat 3 disebut bahwa bea impor dihitung berdasarkan pembebanan tarif bea masuk barang hasil produksi Kawasan Bebas yang berlaku pada saat PPFTZ-01 didaftarkan dan nilai pabean pada saat pemasukan bahan baku ke Kawasan Bebas.

Namun, pada ayat 4 dinyatakan bahwa apabila ketentuan dalam ayat 3 menjadi tidak berlaku saat pemasukan ke Kawasan Bebas, bahan baku dibebaskan dari bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, atau bea masuk pembalasan.

Dengan demikian, ayat 5 menyatakan pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Bebas dengan menggunakan bahan baku yang diberi perlakuan (BMAD) dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dipungut bea masuk anti dumping, dan bea masuk lainnya berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pemasukan bahan baku ke Kawasan Bebas.

Chairman Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA) Hengky Suryawan menyatakan  selama ini barang jadi maupun turunan dari HRP dikenakan bea masuk 0% kendati bahan baku HRP yang masuk ke Batam terbebas dari BMAD maupun bea masuk lainnya.

"Kami baru mengetahui aturannya setelah menerima nota dinas dari DJBC pada 25 Januari kemarin. Aturan itu mewajibkan kami pengusaha di Batam membayar PPh impor dan BMAD untuk galangan kapal yang merupakan barang jadi," ujar Hengky saat ditemu Kontan.co.id, Rabu (13/3).

Kekhawatiran ini pun disampaikan BSOA kepada pemerintah. Itu sebabnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Rabu (6/3) lalu, memanggil perwakilan Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian untuk membahas persoalan ini.

Hasilnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menerangkan, pemerintah akan mengevaluasi dan merevisi PMK Nomor 120/2017. Kemungkinan besar, pemerintah akan menghapus pungutan BMAD untuk barang jadi maupun turunan dari HRP.

Namun, rencana belum kunjung mengalami kemajuan. Sementara, pelaku industri galangan kapal di kawasan Batam terancam bangkrut lantaran tak dapat mengirim kapal hasil produksinya kepada pemesan yang kebanyakan pengusaha pelayaran nasional.

"Sudah 43 hari belum ada kapal yang dikirim, totalnya sudah lebih dari 100 kapal dari puluhan perusahaan galangan kapal di Batam. Kapal saya sendiri ada 12 yang tidak bisa dikirim dan ini sangat merugikan," tutur Hengky yang juga pemilik usaha PT Bahtera Bestari Shipping.

Kalau aturan ini tetap berjalan, Hengky menghitung bea masuk yang mesti dibayarkan pengusaha untuk mengirim satu kapal saja keluar dari Batam ke Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 3 miliar. Ini terdiri dari bea masuk 15%, BMAD HRP dengan asumsi dari Singapura 12,5%, serta PPh impor bahan baku 2,5%.

Sementara, kapal buatan asing yang diimpor dari negara lain justru tidak dikenakan bea masuk. Kenyataan ini tentu mengancam nasib pengusaha galangan kapal di Batam maupun pengusaha pelayaran nasional yang memesan kapal dari Batam.

Oleh karena itu, Hengky berharap pemerintah segera memberikan kepastian. Pertama, kepastian tentang perubahan aturan yang akan dilakukan. Kedua, kepastian kapan perubahan tersebut bisa efektif berlaku dan menyelamatkan usaha galangan kapal di Batam.

Adapun Hengky menegaskan akan terus menagih perkembangan dari kebijakan pemerintah terkait BMAD ini. "Kami sudah sibuk ke sana ke mari. Kalau sedikit lagi enggak selesai juga, kami akan bawa ke Presiden," tandasnya.

Sementara, Indonesian National Shipowners Association (INSA) turut menyuarakan pendapat serupa. Menurut INSA, pemerintah perlu merevisi PMK 120/2017 lantaran dapat membunuh industri galangan dan membangkrutkan usaha pelayaran.

"Kepada anggota, INSA mengajak untuk menahan diri dari memesan dan membangun kapal di Batam hingga pemerintah merevisi PMK 120/2017," tulis Ketua DPP INSA Johnson W. Sutjipto dalam Buletin INSA Februari 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi