Gambut tak lagi menjadi andalan warga



Aktivitas penambangan gambut di Rawa Pening, Jawa Tengah, tidak lagi seramai dua dekade lalu. Selain karena permintaan berkurang, banyak warga dusun Sumurup, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupten Semarang,  tak lagi mau melakoni pekerjaan sebagai penambang gambut. Sebagian besar anak muda Dusun Sumurup lebih memilih pekerjaan sebagai buruh pabrik.

Padahal, Triwanto Setyono, pengusaha gambut sejak sepuluh tahun lalu, mengatakan, penghasilan sebagai penambang gambut cukup besar. Cukup bekerja selama tiga jam, penambang gambut bisa mengantongi Rp 50.000 per hari.

Toh, tidak mudah bagi pengusaha gambut merekrut penambang gambut dari luar Dusun Sumurup. Sebab,  pekerjaan sebagai pencari gambut membutuhkan keahlian khusus. Risiko pekerjaan ini cukup tinggi lantaran harus mencari gambut hingga ke tengah Rawa Pening. Karena itu, Triwanto mengatakan, pengusaha gambut saat ini kesulitan mencari pekerja yang mau menambang.


Kini, jumlah penambang gambut di Dusun Sumurup tinggal sekitar 40 orang. Padahal, pada masa booming 1990-an lalu, jumlah penambang di dusun ini mencapai 100 orang. Pada saat itu, hampir semua laki-laki warga Dusun Sumurup melakoni pekerjaan sebagai penambang gambut.

Jika semua penambang gambut merupakan warga asli Sumurup, lain halnya dengan pekerja bongkar muat gambut dari perahu ke penampungan mapun ke truk. Pekerja bongkar muat ini berasal dari luar dusun Sumurup. Sebagian berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Sebagian lagi berasal dari desa di sekitar Dusun Sumurup. Jumlah pekerja bongkar muat saat ini sekitar 40 orang. Di dekade 1990-an, jumlah pekerja bongkar muat juga mencapai seratusan orang.

Jumini, pengusaha gambut sejak 30 tahun lalu, mengatakan, tidak ada warga Sumurup yang mau menjadi pekerja bongkar muat gambut. Sebab, pekerjaan bongkar muat gambut terbilang berat. Pekerja bongkar muat harus memiliki tenaga ekstra kuat dan tahan dingin lantaran harus menjunjung keranjang gambut basah seberat 50 kg di atas kepala. “Orang Sumurup tidak ada yang kuat karena harus menjunjung gambut sambil naik turun tangga dari sungai menuju penampungan,” imbuh Triwanto.

Parjan, pekerja bongkar muat gambut sejak 20 tahun lalu mengatakan, memperoleh upah Rp 50.000 untuk setiap perahu gambut yang ia bongkar. Biasanya, ia membongkar bersama dua dua rekannya. Setiap hari, setidaknya bongkar muat sebanyak lima perahu. “Imbalan Rp 250.000 dibagi tiga orang,” kata Parjan.

Karena sulit mencari tenaga kerja yang mau jadi penambang, Jumini bilang, pengusaha gambut harus lunak terhadap para pekerja. Jika mereka minta kenaikan upah, pengusaha sebisa mungkin harus menuruti. Padahal, pengusaha tak bisa seenaknya mengerek harga jual gambut. “Mau tidak mau, kami harus menuruti karena tidak ada penambang lain,” kata Jumini. 

(bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: A.Herry Prasetyo