Gandeng Korea, Indonesia bisa untung US$ 10 miliar



JAKARTA. Pemerintah meyakini kerjasama dagang Indonesia–Korea Selatan (Korsel) atau Indonesia–Korea Comprehensive Economic Partnertship Agreement (IK-CEPA) akan memberi keuntungan yang besar. Hasil kajian sementara, kerjasama itu dapat memberikan kesejahteraan atau welfare gain senilai US$ 10,6 miliar bagi Indonesia.

Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemdag), Iman Pambagyo, mengatakan, welfare gain itu muncul atas kajian dua negara dalam kerjasama ini. Mengingat, kedua pihak sudah menegosiasikan substansi kerjasama dengan mengajukan permintaan atau penawaran utamanya di sektor barang, jasa dan investasi.

Peningkatan kesejahteraan itu antara lain timbul karena IK-CEPA akan mempermudah masuknya barang-barang Indonesia ke Korea. Ekspor Indonesia ke Korea dapat meningkat sekurangnya sebesar 15% dari data tahun 2012 yang mencapai US$ 15,05 miliar. Ekspor yang berpotensi meningkat adalah dari produk industri komponen dan suku cadang karena Indonesia berpeluang menjadi penyuplai industri otomotif Korea.


Korea juga akan menambah investasinya di Indonesia. Tahun 2012, investasi Korea di Indonesia tercatat sebesar US$ 1,95 miliar namun terkonsentrasi pada industri karet dan plastik, kimia, tekstil, serta listrik, gas dan air. Investasi di sektor perdagangan hanya US$ 19,5 juta. Diharapkan, IK-CEPA mendorong investasi Korea di sektor otomotif dan komponennya.

Salah satu rencana investasi adalah pembentukan usaha patungan antara industri komponen Indonesia dengan perusahaan otomotif Korea. Joint venture diharapkan bisa menghasilkan produk dengan kandungan lokal 40%.

"Namun perlu diantisipasi bahwa dengan meningkatnya investasi Korea di Indonesia maka impor dari Korea diperkirakan akan mengalami peningkatan khususnya untuk barang modal," ujar Imam, Rabu (10/7).

Meski begitu, Kemdag memastikan, pengusaha domestik tak perlu takut dengan serbuan produk Korea. Soalnya, batasan tarif perdagangan Indonesia-Korea masih berlaku sebesar 10%. "Tarif bea masuk (BM) itu tidak masuk dalam subtansi pembahasan karena nilainya sudah kecil sejak perjanjian kerjasama perdagangan bebas ASEAN-Korsel (AKFTA)," ujar pejabat Kemdag yang enggan disebutkan namanya.

Pengamat Ekonomi, Enny Sri Hartati, mengingatkan, selama ini kerjasama dagang bilateral selalu merugikan Indonesia. Indonesia hanya menjadi pasar produk negara lain. Apalagi, mulai tahun 2013, neraca dagang dengan Korea terjadi defisit. Seharusnya, pemerintah memanfaatkan IK-CEPA untuk mengubah defisit itu menjadi surplus. Mengingat, selama ini neraca dagang kita selalu surplus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto