Ganti direksi atau tidak, setrum proyek kelistrikan tak boleh kehilangan daya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai salah satu penopang utama kehidupan dan perekonomian nasional, setrum listrik tak boleh loyo. Sejumlah tantangan tengah mengadang bisnis listrik, mulai dari adanya penundaan proyek kelistrikan terkait denga pelemahan rupiah, kasus korupsi di proyek kelistrikan (PLTU Riau-1), hingga mencuatnya kabar akan adanya perombakan di tubuh direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Menurut pengamat ekonomi energi dari Univesitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, dalam upaya membangun kelistrikan Indonesia, mega proyek 35.000 megawatt (MW) harus terus berjalan. Alasannya, proyek kelistrikan itu merupakan kebutuhan dasar, termasuk untuk menyokong pembangunan industri guna mendorong pembangunan ekonomi.

Meski demikian, Fahmy bilang, banyak tantangan yang harus dihadapi untuk merealisasikan mega proyek ini. “35.000 MW ini dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi double digit. Tapi banyak tantangan yang dihadapi. Seperti potensi korupsi, dan faktor eksternal semisal pelemahan rupiah yang menyebabkan proyek itu jadi mahal,” jelas Fahmy saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (11/9).


Bagaikan gula yang mengundang semut, menurut Fahmy, nilai proyek triliunan rupiah menjadi godaan yang besar. Apalagi, lanjut Fahmy, hampir setiap proyek pemerintah sulit untuk dilepaskan dari adanya intervensi pihak-pihak yang ingin berbuat korup.

“Dari kasus PLTU Riau-1 tampak banyak pihak yang terlibat. Adanya intervensi yang sulit dihindari menyebabkan ada indikasi untuk perbuatan korupsi,” katanya.

Untuk itu, Fahmy mengusulkan perlunya membangun dan memperkuat sistem pencegahan. Caranya, untuk proyek berdana besar, semisal Rp 1 triliun ke atas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut terlibat sejak awal. Mulai dari tahap perencanaan, penyusunan anggaran, proses lelang atau penunjukkan, hingga implementasi di lapangan.

“Jadi ada pencegahan, KPK tidak hanya menindak setelah kejadian. Ke depan, sistem ini harus dibangun. Kalau tidak, (seperti dalam kasus PLTU Riau-1) orang yang sebelumnya profesional pun akan sulit jika terkena intervensi,” imbuh Fahmy.

Hal senada juga disampaikan oleh stakeholder kelistrikan dari Asosiasi Produsen Lsitrik Swasta Indonesia (APLSI). Menurut Juru Bicara APLSI Rizal Calvary, mega proyek 35.00 MW memiliki tantangan yang berat, terutama karena tiga alasan. Yakni ukurannya yang besar, sehingga membutuhkan modal yang sangat besar, serta melingkupi area yang luas.

“Ukuran proyeknya besar, juga memang sangat high intensive capital. Coverage area juga salah satu yang terbesar di dunia,” kata Rizal.

Karenanya, APLSI mendorong agar peran swasta bisa lebih terbuka. Untuk menghindari tekanan kurs, lanjut Rizal, asosiasi pun mendorong tumbuh kembangnya industri penunjang berupa komponen kelistrikan dalam negeri.

Sebagai proyek strategis nasional, APLSI mendorong dan optimistis 35.000 MW akan tetap berjalan. Rizal menekankan, persoalan-persoalan hukum yang ada jangan sampai menganggu tanggung jawab dan kinerja PLN dalam menjalankan tugas sesuai target yang sudah diberikan pemerintah.

“Asosiasi mendukung pemerintah melakukan konsolidasi di internal dan organisasi PLN agar berbagai proyek yang telah di tetapkan di RUPTL dapat terlaksana dengan baik,” jelas Rizal.

Tak jauh beda, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy N. Sommeng juga tetap optimistis dengan proyek 35.000 MW. Apalagi pada tahun 2019, pemerintah telah menargetkan rasio elektrifikasi (RE) menjadi 99,99%. Andy mengklaim, per Juli kemarin, RE sudah mencapai 97,13% dari target tahun ini sebesar 97,50%.

“Masalah yang sekarang dihadapi adalah bagian dari pembelajaran untuk bekerja dengan prudent dan governance yang baik. Insya Allah target itu bisa dicapai,” ungkapnya. Andy menyebut, proyek 35.000 MW merupakan target maksimum untuk mengantisipasi kebutuhan listrik 5-10 tahun ke depan. Sehingga, ketersediaan listrik meningkat dan bisa menarik investor untuk masuk ke Indonesia.

Mengenai progres terkini proyek 35.000 MW dan soal penundaan 15.200 MW terkait dengan upaya menekan defisit neraca pembayaran akibat pelemahan kurs rupiah dan mengerem impor, Andy masih belum banyak berkomentar. Namun ia menyebut, proyek itu akan tetap berjalan dengan penyesuaian jadwal commercial operation date (COD) dan neraca beban yang ada. “(Untuk lebih rincinya) masih menunggu hasil simulasi dari PLN, untuk lebih akurat,” kata Andy.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka. Made bilang, rincian data tentang progres terkini proyek 35.000 MW dan penundaan 15.200 MW masih disiapkan.

Begitu pun saat dimintai konfirmasi soal kabar akan adanya pergantian di tubuh direksi PLN, Made masih irit bicara. “Belum, saya tak berani konfirmasi kalau belum terima hasil RUPS-nya. Nanti kita tunggu dulu. Saya tidak boleh menyampaikan itu dulu,” kata dia.

Sementara menurut Fahmy Radhi, pergantian direksi sebaiknya tidak dilakukan dengan terburu-buru. Jika itu terkait dengan kasus dugaan korupsi pada proyek PLTU Riau-1, menunggu hasil pembuktian dari KPK menjadi langkah yang tak salah untuk dijalankan.

Namun, Fahmy tetap menekankan perlunya ada penguatan sistem pencegahan korupsi dalam setiap proyek kelistrikan. Khususnya dengan melibatkan KPK dari awal proses proyek itu berlangsung.

“Saya tidak yakin direksi yang baru tidak melakukan hal yang sama kalau KPK tidak ikut terlibat dari awal (untuk melakukan pencegahan).Karena ini bukan soal personal, tapi penyusunan sistem. Itu yang harus dikembangkan,” tandas Fahmy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati