KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta hambatan pendanaan untuk proyek-proyek pembangkit dan transmisi PT PLN dapat segera dicari jalan keluarnya. Dengan begitu eksekusi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 bisa lebih lancar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan gap funding investasi PT PLN sebesar Rp 108,67 triliun selama tahun 2021 dan 2022 yang akan mempengaruhi target pembangunan sesuai RUPTL 2021-2030. Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PLN, kebutuhan investasi yang dibutuhkan pada 2021 senilai Rp 78,9 triliun dan 2022 senilai Rp 73,10 triliun. Dari nilai tersebut PLN hanya dapat memenuhi sebesar Rp 19,93 triliun untuk 2021 dan Rp 23,4 triliun untuk 2022.
Baca Juga: Begini Respon Pelaku Usaha Panas Bumi Soal Rencana Revisi Target Bauran EBT Sehingga ada gap funding senilai Rp 58,97 triliun di 2021 dan Rp 49,7 triliun di 2022. Sisa kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi oleh PLN sehingga diperlukan sumber pendanaan baru. Hasil audit ini tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja Pengelolaan Batubara, Gas Bumi, dan Energi Terbarukan dalam Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan untuk Menjamin Ketersediaan, Keterjangkauan, dan Keberlanjutan Energi Tahun Anggaran 2020 s.d Semester I 2022. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif enggan berkomentar lebih jauh mengenai gap funding karena masuk ke dalam ranah korporasi PLN. “Nanti mungkin harus dicek apa yang menyebabkan kurangnya (pendanaan) itu. Tetapi kan seharusnya kalau sulit bisa dipermudah,” ujarnya di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (2/2). Menurutnya proyek infrastruktur dan pembangkit PLN dalam RUPTL sudah masuk dalam rencana yang sudah disetujui oleh pemerintah. “Kalau Kementerian ESDM apa yang sudah direncanakan harus didorong diselesaikan,” tegasnya. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengakui agak terkejut adanya celah pendanaan yang cukup besar dalam rencana investasi PLN. Artinya PLN tidak bisa memenuhi kebutuhan investasi senilai Rp 70 triliun per tahun untuk melaksanakan RUPTL. Dia menduga, kesulitan pendanaan itu disebabkan fundamental keuangan PLN yang kurang baik. Namun, dugaan ini agak bertentangan dengan pencapaian kinerja keuangan PLN di 2021-2022 yang mencatatkan rekor keuntungan terbaik sepanjang sejarah. Melansir catatan sebelumnya, PLN membukukan laba bersih senilai Rp 14,4 triliun atau meningkat 9,4% year on year (yoy) dibandingkan 2021. Pencapaian tersebut bahkan lebih tinggi 124% dibandingkan target yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 6,4 triliun. Menurut Fabby seharusnya kemampuan pendanaan PLN cukup tinggi sehingga mampu mendapatkan pendanaan. “Ini perlu ada penjelasan lebih lanjut dari PLN apakah persoalannya kemampuan modal PLN itu cekak atau terbatas, atau justru ada faktor lainnya,” kata Fabby dihubungi terpisah. Fabby menyatakan, diharapkan ada partisipasi pihak swasta dalam memuluskan proyek-proyek pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN. Hanya saja, PLN dinilai lebih suka mencari kemitraan dengan skema
equity partner sehingga kecenderungannya mau dikerjakan sendiri dan porsi saham untuk swasta relatif kecil.
Baca Juga: Soal Revisi Target Bauran EBT, Begini Tanggapan Asosiasi Produsen Listrik Swasta “Kalau dengan kondisi di mana kemampuan PLN terbatas, seharusnya swastanya yang didorong. Jika ini yang mau dijalankan, PLN harus menciptakan iklim investasi yang baik. Dimulai dengan lelangnya tepat waktu, perjanjian jual beli listrik (PPA) yang dirancang dapat memberikan tingkat keuntungan yang wajar bagi pengembang,” ujarnya. Jadi Fabby mengusulkan agar proyek EBT dapat digarap swasta, sedangkan PLN fokus pada tanggung jawabnya membangun transmisi. IESR memprediksi, dalam RUPTL yang baru nanti, kebutuhan investasi akan lebih besar dibandingkan RUPTL 2021-2030 karena kewajiban pembangkit EBT makin besar dan proyek super grid harus dikebut. “Bisa saja kalau PLN tidak dapat memobilisasi pendanaan, gap funding itu bisa jadi semakin besar,” kata Fabby. Belum lama ini Executive Vice President of Renewable Energy PT PLN, Zainal Arifin mengakui PLN mencatatkan pendapatan tetap di kisaran Rp 400 triliun yang juga diikuti dengan nominal utang yang besar. “Tetapi orang masih percaya karena kami masih memiliki
cash flow asset Rp 1.600 triliun, jadi masih besar. Kalau untuk dapat pendanaan boleh lah, keuangan cukup sehat,” ujarnya ditemui di sela acara IMEC 2023 di Jakarta, Selasa (19/12).
Meski demikian, saat ini pihaknya menghadapi tantangan cukup besar dari kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang menghambat masuknya pendanaan dari luar negeri. Saat ini ada Rp 51,5 triliun proyek PLN yang pendanaannya terkendala kebijakan ini. Sejauh ini Kementerian Perindustrian tidak mau melonggarkan aturan TKDN untuk pembiayaan luar negeri meskipun itu proyek EBT. Zainal berharap, ada revisi terkait TKDN khusus untuk proyek-proyek yang pendanaannya berasal dari luar negeri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi