JAKARTA. Naiknya Bea Keluar (BK) ekspor crude palm oil (CPO) dan turunan akan berimbas pada turunnya daya saing ekspor. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. "Daya saing menjadi turun karena margin yang diperoleh semakin tipis," terang Fadhil saat dihubungi KONTAN di Jakarta, Selasa (26/10).Fadhil menyebutkan, turunnya daya saing ekspor itu membuat industri sawit tidak bergairah karena keuntungan yang seharusnya bisa diperoleh akhirnya disetorkan ke negara berupa BK. Dari segi permintaan CPO dan turunan, adanya BK tersebut menurutnya tidak berpengaruh. "Pengaruhnya kepada eksportir bukan kepada permintaan pasar," terangnya.Kinerja ekspor CPO dan turunannya sampai dengan Agustus 2010 sudah mencapai 9,7 juta ton dengan rata-rata ekspor 1,2 juta perbulannya. Ekspor September tercatat 1,2 juta ton atau mengalami 500 ribu ton dibandingkan dengan realisasi ekspor Agutus yang mencapai 1,7 juta ton.Kalau rata-rata ekspor 1,2 juta perbulan maka dengan BK 10% dan HPE US$ 888 per ton, maka negara berpotensi mendapatkan US$ 105 juta dalam satu bulan dari setoran BK ini. Fadhil menyatakan, tahun 2008 lalu negara mendapatkan setidaknya Rp 13 triliun dari setoran BK. "Namun dana itu tidak jelas peruntukannya, tidak kami rasakan setoran itu kembali ke industri kelapa sawit," tegasnya.Sebelumnya, pemerintah bilang realisasi BK akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan industri hilir kelapa sawit di Indonesia. Selain itu BK digunakan untuk melakukan stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri. "Tapi kenyataanya industri hilir sulit berkembang dan stabilisasi harga minyak goreng hanya dilakukan oleh industri dengan program minyak kita," ungkap Fadhil.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
GAPKI: BK CPO tinggi daya saing ekspor berkurang
JAKARTA. Naiknya Bea Keluar (BK) ekspor crude palm oil (CPO) dan turunan akan berimbas pada turunnya daya saing ekspor. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. "Daya saing menjadi turun karena margin yang diperoleh semakin tipis," terang Fadhil saat dihubungi KONTAN di Jakarta, Selasa (26/10).Fadhil menyebutkan, turunnya daya saing ekspor itu membuat industri sawit tidak bergairah karena keuntungan yang seharusnya bisa diperoleh akhirnya disetorkan ke negara berupa BK. Dari segi permintaan CPO dan turunan, adanya BK tersebut menurutnya tidak berpengaruh. "Pengaruhnya kepada eksportir bukan kepada permintaan pasar," terangnya.Kinerja ekspor CPO dan turunannya sampai dengan Agustus 2010 sudah mencapai 9,7 juta ton dengan rata-rata ekspor 1,2 juta perbulannya. Ekspor September tercatat 1,2 juta ton atau mengalami 500 ribu ton dibandingkan dengan realisasi ekspor Agutus yang mencapai 1,7 juta ton.Kalau rata-rata ekspor 1,2 juta perbulan maka dengan BK 10% dan HPE US$ 888 per ton, maka negara berpotensi mendapatkan US$ 105 juta dalam satu bulan dari setoran BK ini. Fadhil menyatakan, tahun 2008 lalu negara mendapatkan setidaknya Rp 13 triliun dari setoran BK. "Namun dana itu tidak jelas peruntukannya, tidak kami rasakan setoran itu kembali ke industri kelapa sawit," tegasnya.Sebelumnya, pemerintah bilang realisasi BK akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan industri hilir kelapa sawit di Indonesia. Selain itu BK digunakan untuk melakukan stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri. "Tapi kenyataanya industri hilir sulit berkembang dan stabilisasi harga minyak goreng hanya dilakukan oleh industri dengan program minyak kita," ungkap Fadhil.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News