JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) akhirnya secara resmi mencabut permohonan gugatan hak uji materi (judicial review) terhadap undang-undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi. Penasehat Hukum GAPKI Refly Harun, mengatakan, pencabutan permohonan
judicial review itu lantaran pihaknya masih akan mempelajari lebih lanjut terkait klausa yang ada dalam pasal-pasal yang diajukan dalam judicial review tersebut, yaitu pasal 69, 88, 99 dalam UU 32/ 2009 dan pasal 49 dalam UU 41/ 1999. “GAPKI akan mengajak semua pihak untuk duduk bersama, melakukan konsultasi dan dialog intensif, termasuk di dalamnya ada tenaga ahli, pemerintah dan para pelaku bisnis,” ungkap Refly dalam keterangannya kepada KONTAN, Senin (12/6).
Refly menambahkan, selaku kuasa hukum, pihaknya telah berdiskusi untuk mencabut gugatan uji mater UU Nomor 32/2009 tersebut. “Kami selaku kuasa hukum pemohon telah berdiskusi panjang hingga akhirnya kami mencabut gugatan uji materi ke MK tersebut. Namun kami juga berpendapat bahwa pasal-pasal yang diajukan dalam
judicial review itu perlu diharmonisasikan karena sangat luas penafsirannya,” imbuh Refly. Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono menimpali, GAPKI sebagai asosiasi perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkomitmen untuk selalu melakukan tata kelola perkebunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Terkait kebakaran lahan, GAPKI selalu meminta kepada anggotanya untuk melakukan pencegahan dan antisipasi kebakaran terutama ketika memasuki musim kemarau. Seluruh perusahaan kelapa sawit anggota GAPKI telah menerapkan zero burning policy (pembukaan lahan tanpa bakar). Melalui penerapan
zero burning policy, perusahaan berkomitmen untuk tidak sama sekali membenarkan adanya aktivitas pembakaran lahan di perkebunan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh anggota GAPKI untuk mencegah terjadinya kebakaran. Mulai dari membentuk masyarakat peduli api, hingga melakukan patroli siaga tim tanggap darurat peduli api yang melibatkan partisipasi aktif pemerintah dan masyarakat sipil. Hingga akhir tahun 2016 lalu, para anggota GAPKI telah membentuk sedikitnya 350 Desa Peduli Api. “Alhasil, hingga saat ini perusahaan telah berhasil menekan angka kebakaran secara drastis,” kata Joko. Data dari Global Forest Watch, pada kejadian kebakaran tahun 2015, titik api yang berasal dari dalam konsesi perusahaan sawit kurang dari 10% dari total titik api yang muncul.
Joko menambahkan, terkait
judicial reveiw yang kini telah dicabut, awalnya langkah itu diajukan untuk mencari keadilan terkait siapa pihak yang paling bertanggung jawab dalam terjadinya kebakaran lahan dan hutan, bukan bermaksud untuk mencabut keempat pasal dalam dua UU tersebut. Sebab, selama ini, dengan prinsip
strict liability seperti diatur dalam pasal 88 UU 32/2009, dalam setiap terjadinya kebakaran korporasi menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Tergugat bisa dinyatakan bersalah oleh penggugat tanpa mengetahui apakah tergugat benar-benar melakukan kesalahan. Hanya dengan membuktikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh tergugat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, tanpa mengetahui siapa yang melakukan pencemaran maupun kerusakan lingkungan tersebut. Joko bilang, setelah GAPKI mempelajari lebih mendalam bersama para ahli terutama untuk pasal 88 UU 32/2009, pihaknya akan mengusulkan baik kepada pemerintah maupun DPR untuk memperbaiki pasal tersebut sehingga lebih berkeadilan. “Jadi yang paling tepat adalah kita mebuktikan dan memberikan hukuman bagi para pelaku penyebab karhutla. Termasuk dalam hal ini, jika korporasi terbukti bersalah, maka secara
gentle mereka harus siap untuk memberikan pertanggung jawaban di hadapan hukum,” kata Joko. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan