Gapki: Perkebunan kelapa sawit membawa kemajuan di daerah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kampanye negatif yang terus menyerang produk minyak kelapa sawit membuat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) gerah. Pasalnya, Gapki mencatat, justru kehadiran perkebunan kelapa sawitlah yang membawa kemajuan di sejumlah daerah di Indonesia.

Pada era tahun 1980-an, pola transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit merupakan program pemerintah yang sukses. Kedua program ini mampu membuka keterisoliran daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk sehingga berdampak pada pemekaran wilayah.

Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang mengatakan, kalau dilihat secara historis, empat dari lima daerah pemekaran di tingkat kabupaten di Indonesia merupakan wilayah transmigrasi yang penduduknya yang menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit.


"Hanya saja, karena berbagai keterbatasan program transmigrasi serta perkebunan kelapa sawit hanya mengikuti kondisi saat itu sehingga ada regulasi tertinggal dengan kondisi lapangan. Akibatnya, sejumlah pihak menilai terjadi diskriminasi," ujar Togar, Jumat (12/1).

Dalam peluncuran dan diskusi buku bertema “Privatisasi transmigrasi dan kemitraan plasma menopang industri sawit” diadakan The Institute for Ecosoc Rights bekerja sama dengan Norwegian Center for Human Rights, Togar membeberkan bahwa pada tahun 1980-an, saat pengembangan awal, perusahaan sawit selalu harus mampu menyeimbangkan antara luasan areal, kemampuan produksi Tandan Buah Segar (TBS) serta kapasitas pabrik.

Perusahaan sawit berinvestasi berdasarkan kemampuan mereka. Jika memiliki 5.000 hektare (ha) lahan maka pasokan yang dibutuhkan adalah 30 ton TBS per jam. Saat itu, perusahaan hanya menggantungkan pasokan dari petani plasma karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik serta petani mandiri belum berkembang.

Menurut Togar, kalaupun, akhirnya perusahaan sawit menerima pasokan petani mandiri harganya pasti berbeda. Hal itu karena harga plasma dihitung berdasarkan harga rata-rata dua sampai tiga bulan lalu.

Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono mengingatkan banyak pihak yang tidak mengenal produk sawit tetapi berbicara negatif tentang sawit.

Akibatnya, opini negatif komoditas itu telah merasuk di pemikiran generasi muda Indonesia sejak dari rumah hingga pendidikan.

Menurut dia, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat mendorong peningkatan promosi positif terhadap minyak sawit. Apalagi, sumbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) terhadap devisa negara mencapai rata-rata lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto