KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksikan produksi sawit Indonesia yang terdiri dari Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) di tahun 2026 akan meningkat sebesar 4%-5% dibandingkan produksi sepanjang tahun 2025. Sebagai gambaran, produksi 2025 diproyeksikan akan naik sekitar 10% dibandingkan produksi sepanjang 2024 lalu ke kisaran 56 juta–57 juta ton. "Untuk 2026 diperkirakan tumbuh lagi sekitar 4–5%, dengan kenaikan terutama berasal dari perbaikan produktivitas dan maturasi tanaman, bukan dari ekspansi lahan baru," ungkap Ketua Umum Gapki, Eddy Martono. Dalam catatan Gapki, memasuki 2026, industri minyak sawit global bergerak dalam kombinasi unik antara fundamental permintaan yang kuat dan lingkungan kebijakan yang semakin kompleks. Baca Juga: Alokasi Biodiesel 2026 Ditetapkan, Ancaman Ekspansi Lahan Mengintai Konsumsi minyak sawit dunia terus tumbuh, terutama di negara berkembang, namun pola perdagangan bergeser akibat kebijakan proteksionis, regulasi keberlanjutan yang lebih ketat, dan ketegangan geopolitik. "Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia diperkirakan masih mencatat pertumbuhan produksi moderat," tambahnya. Di sisi lain, mandatori biodiesel di Indonesia menjadi penggerak utama perubahan struktur permintaan. Penerapan B40 secara nasional pada 2025 menyerap sekitar 15,6 juta kiloliter biodiesel, setara dengan kira-kira 14 juta ton CPO. "Diskusi kebijakan menunjukkan rencana bertahap menuju B45–B50 dalam periode 2026–2027. Setiap kenaikan campuran akan menyerap lebih banyak CPO di dalam negeri, mengurangi ketersediaan ekspor dan tetap menopang harga," ungkapnya. Dari sisi harga, minyak sawit global masih berada di level tinggi secara historis. Setelah rata-rata harga CPO dunia berkisar sekitar US$ 1.050–1.100/ton pada 2024 (CIF Rotterdam), pasar 2025 bergerak dalam rentang yang mirip, dengan beberapa episode penguatan ketika stok menipis dan harga minyak nabati lain menguat. Baca Juga: Libur Nataru Dongkrak Trafik Mal, Diproyeksi Ramai hingga Awal Januari 2026 Proyeksi konsensus pelaku industri mengindikasikan lingkungan harga yang tetap kuat pada paruh pertama 2026, dengan kisaran sekitar US$ 1.050–US$ 1.150/ton, tergantung realisasi cuaca, kebijakan biofuel, dan perkembangan ekonomi global. Tahun depan, industri sawit diprediksi akan mengalami pergeseran dari era ekspansi lahan masif ke era pertumbuhan berbasis produktivitas. Moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, serta tekanan global terhadap deforestasi, membatasi ruang ekspansi area.
Gapki Prediksi Produksi Sawit 2026 Naik 4%-5%, Fokus Produktivitas
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksikan produksi sawit Indonesia yang terdiri dari Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) di tahun 2026 akan meningkat sebesar 4%-5% dibandingkan produksi sepanjang tahun 2025. Sebagai gambaran, produksi 2025 diproyeksikan akan naik sekitar 10% dibandingkan produksi sepanjang 2024 lalu ke kisaran 56 juta–57 juta ton. "Untuk 2026 diperkirakan tumbuh lagi sekitar 4–5%, dengan kenaikan terutama berasal dari perbaikan produktivitas dan maturasi tanaman, bukan dari ekspansi lahan baru," ungkap Ketua Umum Gapki, Eddy Martono. Dalam catatan Gapki, memasuki 2026, industri minyak sawit global bergerak dalam kombinasi unik antara fundamental permintaan yang kuat dan lingkungan kebijakan yang semakin kompleks. Baca Juga: Alokasi Biodiesel 2026 Ditetapkan, Ancaman Ekspansi Lahan Mengintai Konsumsi minyak sawit dunia terus tumbuh, terutama di negara berkembang, namun pola perdagangan bergeser akibat kebijakan proteksionis, regulasi keberlanjutan yang lebih ketat, dan ketegangan geopolitik. "Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia diperkirakan masih mencatat pertumbuhan produksi moderat," tambahnya. Di sisi lain, mandatori biodiesel di Indonesia menjadi penggerak utama perubahan struktur permintaan. Penerapan B40 secara nasional pada 2025 menyerap sekitar 15,6 juta kiloliter biodiesel, setara dengan kira-kira 14 juta ton CPO. "Diskusi kebijakan menunjukkan rencana bertahap menuju B45–B50 dalam periode 2026–2027. Setiap kenaikan campuran akan menyerap lebih banyak CPO di dalam negeri, mengurangi ketersediaan ekspor dan tetap menopang harga," ungkapnya. Dari sisi harga, minyak sawit global masih berada di level tinggi secara historis. Setelah rata-rata harga CPO dunia berkisar sekitar US$ 1.050–1.100/ton pada 2024 (CIF Rotterdam), pasar 2025 bergerak dalam rentang yang mirip, dengan beberapa episode penguatan ketika stok menipis dan harga minyak nabati lain menguat. Baca Juga: Libur Nataru Dongkrak Trafik Mal, Diproyeksi Ramai hingga Awal Januari 2026 Proyeksi konsensus pelaku industri mengindikasikan lingkungan harga yang tetap kuat pada paruh pertama 2026, dengan kisaran sekitar US$ 1.050–US$ 1.150/ton, tergantung realisasi cuaca, kebijakan biofuel, dan perkembangan ekonomi global. Tahun depan, industri sawit diprediksi akan mengalami pergeseran dari era ekspansi lahan masif ke era pertumbuhan berbasis produktivitas. Moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, serta tekanan global terhadap deforestasi, membatasi ruang ekspansi area.