Gappri: Kenaikan Cukai 27% dituding langgar UU



JAKARTA. Pemerintah segera menaikkan cukai rokok di tahun 2015 ini. Tak tanggung-tanggung, persentase kenaikan itu mencapai 27% atau jauh lebih tinggi dari kenaikan cukai tahun 2014 yang hanya sebesar 12%. Kenaikan ini dituding melanggar Undang-Undang tentang Cukai

Seperti diketahui, tahun lalu pemerintah hanya berhasil memungut cukai sebesar Rp 112 triliun dari target APBN 2014 sebesar Rp 116,28 triliun. Namun tahun ini pemerintah menargetkan memungut cukai rokok sebesar Rp 141,7 triliun sesuai APBN Perubahan yang disepakati Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah beberapa hari lalu. Pada APBN 2015 atau versi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono target cukai rokok ditetapkan sebesar Rp 120 triliun.

Dengan kenaikan cukai sebesar 27%, berarti merupakan kenaikan tarif cukai tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dengan kenaikan ini industri memastikan jumlah pabrik rokok bakal menyusut drastis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun sudah di depan mata.


Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengingatkan pemerintah soal dampak PHK atas kenaikan cukai. “Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12%, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan,” ujar Ismanu.

Ismanu menyesalkan, keputusan kenaikan tarif cukai itu sama sekali tidak melibatkan industri. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun melalui Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dinilai enggan mendengarkan suara industri.

Ia mengingatkan, jika ini dipaksakan berpotensi melanggar Undang-undang Cukai Nomor 39/2009. “Dalam UU Cukai disebutkan syarat harus melihat situasi industri dan mendengar aspirasi dunia usaha,” ungkap.

Gappri mempunyai catatan, saat ini industri rokok yang masih aktif kurang lebih berjumlah 100 perusahaan. Padahal pada 2009 jumlahnya mencapai 4.900 perusahaan. Dengan kenaikan cukai sebesar itu, diperkirakan pabrik rokok bakal menyusut tinggal 60an perusahaan. “Kami berharap pemerintah mau mendengarkan kami," tandasnya.

Seperti diketahui, industri rokok dalam negeri memiliki mata rantai panjang dengan jutaan pekerja. Kepentingan pekerja ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah bukan hanya sekadar mengejar target penerimaan.

Celakanya, beban industri tak hanya kenaikan tariff cukai. Karena di saat yang sama mereka harus membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dipatok undang-undang sebesar 10% dari cukai yang dibayarkan industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto