GAPPRI Sebut Data Prevalensi Perokok Tak Relevan Lagi Jadi Alasan Kenaikan Tarif CHT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2023 dan tahun 2024 dengan rata-rata tertimbang 10%. Sri Mulyani menyampaikan hal itu di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (03/11) lalu. 

Menyikapi besaran kenaikan tarif CHT sebesar 10% itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpendapat bahwa kenaikan CHT itu akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal. Pasalnya, kenaikan tarif menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal. 

"Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir, pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10% di tahun 2023 dan 2024," kata dia dalam keterangannya, Selasa (8/11). 


"Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi  dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya. 

Baca Juga: Kebakaran di Gudang Kediri, Gudang Garam (GGRM): Tak Ada Pengaruh ke Aktivitas Pabrik

Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.  Selama ini, kata Henry, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10%  dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran hasil tembakau. 

"Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20%  dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal!," tegas Henry. 

Henry Najoan juga menyoroti alasan dibalik kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di angka 9,1% di tahun 2018. 

Klaim itu, sambung Henry Najoan, seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak tahun 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. 3,87% pada 2019, turun menjadi 3,81% pada 2020 dan turun menjadi  3,15% di tahun 2021. 

"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ujar Henry Najoan. 

Baca Juga: Cukai Rokok Akan Naik 10% pada Tahun 2023, Begini Respons Wismilak (WIIM)

Henry juga meyakini, kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan rokok ilegal. Pasalnya, gap harga rokok legal dengan ilegal semakin lebar. Jauhnya jarak harga rokok legal dengan ilegal, membuat rokok bodong pun makin marak. 

"Dengan dinaikannya kembali tarif cukai, kami berkeyakinan rokok ilegal akan semakin marak dan potential lost negara juga semakin besar dan lebih tragis, dan sumber nafkah pekerja akan hilang dalam ancaman masa resesi global," pungkas Henry Najoan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi