KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) masih belum membara. Bahkan, HBA bulan April kian meredup setelah jatuh di bawah US$ 90 per ton. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), HBA bulan April tercatat sebesar US$ 88,85 per ton. Angka itu merosot 1,89% dibandingkan HBA Maret yang masih berada di angka US$ 90,57 per ton. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, penurunan tersebut disebabkan dinamika pasar. Terutama masih dipengaruhi
supply dan
demand dari China. "Turun karena pasar, pokoknya itu
supply dan
demand saja," kata Bambang.
Sementara, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, faktor China memang masih memegang peranan penting terhadap pasar dan pembentukan harga batubara. Ia mengatakan, harga batubara kalori 4.200 kcal/kg yang mendominasi ekspor Indonesia, sempat positif pada periode akhir Februari hingga pertengahan Maret. Hal itu seiring dengan membaiknya pasokan batubara ke negeri Tirai Bambu tersebut. Kala itu, harga batubara kalori rendah sudah mampu mencapai angka US$ 40 per ton. Namun, kini harganya bertengger di kisaran US$ 35-36 per ton. "Jadi dua minggu pertama menguat, minggu terakhir dia turun lagi. Dihitung rata-rata lebih rendah dari bulan lalu," kata Hendra saat ditemui di Kantornya, Selasa (2/4). Hendra bilang, turunnya HBA pada bulan April ini, tak lepas dari harga batubara kalori tinggi yang mulai terkoreksi. Hal tersebut disinyalir sebagai imbas dari kebijakan China yang memperlambat impor batubara dari Australia. Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA. Yakni Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), GlobalCOAL Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900. Hendra menyebut, sempat bergulir usulan dari pelaku usaha, supaya penghitungan rata-rata HBA dipercepat. Tujuannya, supaya bisa lebih merefleksikan realita harga di pasar yang begitu dinamis. "Karena HBA per bulan, rata-rata 4 minggu. Ada pemikiran seperti itu, usulannya dibuat lebih sering, per 2 minggu, misalnya," kata Hendra. Di sisi lain, Ketua Komite Marketing APBI Nyoman Oka menyampaikan, penurunan nilai HBA secara berkelanjutan selama lebih dari satu semester ini disebabkan adanya
oversupply di pasar internasional. Penyebabnya adalah penurunan permintaan batubara Indonesia dan Australia dari Tiongkok, Eropa dan Asia Utara. "Pada saat yang sama produksi Indonesia meningkat," katanya.
Asal tahu saja, HBA terus terkikis sejak September 2018 dan belum pernah mencatatkan kenaikan. Terakhir HBA menanjak terjadi pada Agustus 2018 yang menyentuh angka US$ 107,83 per ton. Setelah itu, HBA terus menurun hingga menyentuh level terendah pada April ini, dengan mencatatkan nilai di bawah US$ 90 per ton. Hendra menilai, kondisi ini merupakan alarm untuk mengendalikan produksi batubara dari Indonesia. "Ini memang alarm juga bagi kita bahwa pengendalian produksi sudah sangat penting, karena harga juga terbentuk dari
supply," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi