Beijing. Perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi, Uber, membeberkan kerugian sebesar US$ 1 miliar per tahun di China. Kerugian ini disebabkan kompetisi ketat dengan Didi Kuaidi, perusahaan lokal yang sejak 2012 merintis bisnis transportasi berbasis aplikasi. CEO Uber, Travis Kalanic, mengungkapkan Uber masih meraup keuntungan di negara asalnya, Amerika Serikat.
Akan tetapi, di China, perusahaan ini terus merugi sejak menancapkan kaki bisnisnya sejak Februari 2014. Namun Travis klaim, posisi Uber lebih baik dibandingkan pesaingnya tersebut. Pasalnya, Uber masih bisa menutupi sebagian kerugian lewat perolehan laba dari negara lain. Ini yang tak dimiliki oleh Didi sebagai pesaing Uber. “Kami punya pesaing yang sebenarnya tidak untung di setiap kota yang dijajakinya, tapi mereka memborong pangsa pasar,” ucap Travis pada situs CNBC. Sebelumnya, Didi Kuaidi mengklaim sebagai pemimpin pasar di 259 kota yang dilayaninya. Perang untuk merebut pasar di China memang menegangkan. Masing-masing perusahaan menggelontorkan dana besar guna memacu perolehan pasar serta keuntungan. Berbagai promo dan diskon juga diberikan untuk menarik konsumen. Sepanjang 2016, Uber berencana menambah jumlah kota yang dilayani hingga hampir 100 kota. Secara
year to date, Uber mengantongi pendapatan lebih dari US$ 10 miliar.
Daftar investor Uber antara lain Goldman Sachs, TPG, Fidelity, serta miliader Rusia, Mikhail Fridman. Sementara itu, manajemen Didi Kuaidi menampik ucapan Uber. Malahan, Didi Kuaidi mengklaim telah balik modal di 400 kota di China. "Kami tidak akan hadir di sini kalau tidak membakar uang. Dengan memberi subsidi agar lebih banyak mobil yang beroperasi, maka waktu tunggu semakin singkat, biaya perjalanan lebih murah, serta lebih banyak pengguna dan pengemudi," ungkap Jean Liu, Presiden Didi Kuaidi.
Editor: Adi Wikanto