Nadya Fadila Saib, perempuan muda berumur 24 tahun itu merasa gundah. Hasil penelitian yang dilakukan teman-teman kampusnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) seperti tidak bermanfaat dan hanya mendekam di perpustakaan. "Padahal penelitian itu berguna untuk masyarakat, terlebih untuk mereka yang memiliki kemampuan ekonomi kurang," kata Nadya. Pendidikan adalah modal untuk memperbaiki taraf kehidupan. Ini pula yang diyakini oleh Nadya Fadila Saib, perempuan 24 tahun yang mengajarkan penduduk Desa Ciwangun, Lembang, Jawa Barat memproduksi sabun mawar. Melalui sabun mawar, dia berharap ekonomi masyarakat desa akan meningkat sehingga mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi.Kegundahan inilah yang membuat Nadya berkeinginan memanfaatkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2008 lalu bersama kawan-kawannya. Penelitian itu berhasil menciptakan sabun padat dari bahan alami, seperti teh hijau, kunyit, apel, minyak zaitun, dan campuran minyak zaitun dengan kelapa.Setahun kemudian Nadya berhasil merealisasikan hasilnya dengan melakukan produksi masal sabun padat. Sebanyak 200 sabun natural dengan merek Wangsa Jelita tiap bulan dihasilkan. Setiap batang sabun dijual seharga Rp 15.000 dengan pangsa pasar hotel dan salon di Bandung. Perjalanannya tak berhenti. Jiwa sosial Nadya kembali tergugah saat mengunjungi Desa Ciwangun, Bandung. Ia melihat hampir seluruh petani di desa itu hidup dari penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan. "Tidak ada penghasilan untuk ditabung atau membiayai pendidikan anak-anak," katanya. Karena itu, banyak anak-anak desa yang hanya mengeyam pendidikan hingga tingkat SMP. Dengan pendidikan rendah, anak perempuan yang selesai menamatkan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) banyak dinikahkan oleh orang tuanya. Sedangkan, anak lelaki harus bekerja jadi buruh dengan upah rendah bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). "Saya kerap mendapati perempuan dengan usia lebih muda dari saya sudah berstatus janda," katanya.Pendidikan rendah pula yang membuat para penduduk di Desa Ciwangun tidak punya pilihan lain selain bekerja di kawasan wisata Ciwangun, Lembang. Selain itu, banyak juga dari mereka yang berprofesi sebagai petani mawar. Walaupun mempunyai pasar lumayan, namun hasil pertanian mawar tidak terlalu bisa diandalkan. Ada rantai penjualan mawar yang harus dilalui. Mereka terpaksa menjual mawar hasil panen ke pengumpul atau bandar dengan harga yang ditentukan. Kualitas mawar dibagi menjadi tingkat A, B dan C. Tingkat A dengan panjang tangkai 60 cm dihargai Rp 40.000 per kodi. Sedangkan, mawar tingkat B dengan panjang tangkai 40-60 cm dihargai setengah dari mawar tingkat A. Harga paling murah ada di mawar C yang tingginya kurang dari 40 cm.Harga mawar juga dibedakan dari kondisi kelopak bunga. Semakin merekah, maka harganya semakin murah. "Saya ingin membantu agar mereka mempunyai penghasilan lebih, supaya anak-anaknya dapat bersekolah," kata perempuan kelahiran Balikpapan, 16 Maret 1987 ini.Melihat kondisi itu, Nadya kembali melakukan penelitian, melanjutkan penelitian sebelumnya. Dalam percobaannya, ia menemukan formula khusus air mawar atau infusum dan minyak mawar sebagai bahan baku pembuatan sabun. Dia memilih mawar kualitas B dan C sebagai bahan baku karena harganya murah dan kelopaknya sudah merekah. Nadya juga berharap dengan menggunakan mawar tingkat B dan C saya, maka dirinya tidak akan tidak merusak rantai bandar bunga mawar yang selama ini sudah ada.Setelah formula siap, pada Maret 2010 Nadya kembali mendatangi para petani mawar di Desa Ciwangun untuk memperkenalkan formula buatannya. "Banyak petani tertarik," katanya.Nadya lalu mulai mengajari cara pembuatan sabun mawar ke satu kelompok yang berisi 25 petani yang anak-anaknya tidak bersekolah lagi. Dari 25 orang di kelompok tersebut, sembilan petani perempuan bertugas membuat sabun. Sedangkan sisanya menjalankan fungsi lain seperti manajemen dan budidaya mawar.Nadya menghitung dari satu kelompok tersebut bisa dihasilkan 480 sabun mawar per bulan, setiap sabun memiliki berat 80 gram. Ia berencana memasukkan penjualan sabun mawarnya dengan sistem penjualan sabun natural yang sudah dia produksi sebelumnya. Harga yang ditawarkannya Rp 15.000 setiap sabun. Namun, total produksi seperti dibayangkan Nadya belum tercapai, sebab sejak Maret sampai sekarang kelompok petani itu baru menghasilkan 48 sabun mawar. Karena itu, Januari nanti Nadya akan mendatangkan alat produksi sabun mawar ke Ciwangun. Dana pembelian alat-alat itu ia peroleh dari hasil kemenangannya di British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) 2010. "Karena produksi belum besar maka hasilnya belum dipasarkan. Sebagian besar hanya dibagikan ke hotel dan salon sebagai contoh sebelum benar-benar dijual," ujarnya.Untuk mempercantik bentuk sabun, Nadya juga bekerjasama dengan temannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB untuk merancang cetakan sabun. Ia berharap bentuk sabun mawarnya nanti melengkung sehingga lebih artistik. Selain itu, tahun depan Nadya juga berencana menambah jumlah kelompok binaan menjadi tiga kelompok.Selain sabun padat, Nadya juga ingin memproduksi sampo dan sabun cair. Ia berharap, setelah semua rencananya berhasil, seluruh petani di Desa Cimangun memiliki penghasilan cukup untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Gara-gara Nadya, mawar bisa untuk menyekolahkan anak
Nadya Fadila Saib, perempuan muda berumur 24 tahun itu merasa gundah. Hasil penelitian yang dilakukan teman-teman kampusnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) seperti tidak bermanfaat dan hanya mendekam di perpustakaan. "Padahal penelitian itu berguna untuk masyarakat, terlebih untuk mereka yang memiliki kemampuan ekonomi kurang," kata Nadya. Pendidikan adalah modal untuk memperbaiki taraf kehidupan. Ini pula yang diyakini oleh Nadya Fadila Saib, perempuan 24 tahun yang mengajarkan penduduk Desa Ciwangun, Lembang, Jawa Barat memproduksi sabun mawar. Melalui sabun mawar, dia berharap ekonomi masyarakat desa akan meningkat sehingga mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi.Kegundahan inilah yang membuat Nadya berkeinginan memanfaatkan hasil penelitian yang dilakukan pada 2008 lalu bersama kawan-kawannya. Penelitian itu berhasil menciptakan sabun padat dari bahan alami, seperti teh hijau, kunyit, apel, minyak zaitun, dan campuran minyak zaitun dengan kelapa.Setahun kemudian Nadya berhasil merealisasikan hasilnya dengan melakukan produksi masal sabun padat. Sebanyak 200 sabun natural dengan merek Wangsa Jelita tiap bulan dihasilkan. Setiap batang sabun dijual seharga Rp 15.000 dengan pangsa pasar hotel dan salon di Bandung. Perjalanannya tak berhenti. Jiwa sosial Nadya kembali tergugah saat mengunjungi Desa Ciwangun, Bandung. Ia melihat hampir seluruh petani di desa itu hidup dari penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan. "Tidak ada penghasilan untuk ditabung atau membiayai pendidikan anak-anak," katanya. Karena itu, banyak anak-anak desa yang hanya mengeyam pendidikan hingga tingkat SMP. Dengan pendidikan rendah, anak perempuan yang selesai menamatkan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) banyak dinikahkan oleh orang tuanya. Sedangkan, anak lelaki harus bekerja jadi buruh dengan upah rendah bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). "Saya kerap mendapati perempuan dengan usia lebih muda dari saya sudah berstatus janda," katanya.Pendidikan rendah pula yang membuat para penduduk di Desa Ciwangun tidak punya pilihan lain selain bekerja di kawasan wisata Ciwangun, Lembang. Selain itu, banyak juga dari mereka yang berprofesi sebagai petani mawar. Walaupun mempunyai pasar lumayan, namun hasil pertanian mawar tidak terlalu bisa diandalkan. Ada rantai penjualan mawar yang harus dilalui. Mereka terpaksa menjual mawar hasil panen ke pengumpul atau bandar dengan harga yang ditentukan. Kualitas mawar dibagi menjadi tingkat A, B dan C. Tingkat A dengan panjang tangkai 60 cm dihargai Rp 40.000 per kodi. Sedangkan, mawar tingkat B dengan panjang tangkai 40-60 cm dihargai setengah dari mawar tingkat A. Harga paling murah ada di mawar C yang tingginya kurang dari 40 cm.Harga mawar juga dibedakan dari kondisi kelopak bunga. Semakin merekah, maka harganya semakin murah. "Saya ingin membantu agar mereka mempunyai penghasilan lebih, supaya anak-anaknya dapat bersekolah," kata perempuan kelahiran Balikpapan, 16 Maret 1987 ini.Melihat kondisi itu, Nadya kembali melakukan penelitian, melanjutkan penelitian sebelumnya. Dalam percobaannya, ia menemukan formula khusus air mawar atau infusum dan minyak mawar sebagai bahan baku pembuatan sabun. Dia memilih mawar kualitas B dan C sebagai bahan baku karena harganya murah dan kelopaknya sudah merekah. Nadya juga berharap dengan menggunakan mawar tingkat B dan C saya, maka dirinya tidak akan tidak merusak rantai bandar bunga mawar yang selama ini sudah ada.Setelah formula siap, pada Maret 2010 Nadya kembali mendatangi para petani mawar di Desa Ciwangun untuk memperkenalkan formula buatannya. "Banyak petani tertarik," katanya.Nadya lalu mulai mengajari cara pembuatan sabun mawar ke satu kelompok yang berisi 25 petani yang anak-anaknya tidak bersekolah lagi. Dari 25 orang di kelompok tersebut, sembilan petani perempuan bertugas membuat sabun. Sedangkan sisanya menjalankan fungsi lain seperti manajemen dan budidaya mawar.Nadya menghitung dari satu kelompok tersebut bisa dihasilkan 480 sabun mawar per bulan, setiap sabun memiliki berat 80 gram. Ia berencana memasukkan penjualan sabun mawarnya dengan sistem penjualan sabun natural yang sudah dia produksi sebelumnya. Harga yang ditawarkannya Rp 15.000 setiap sabun. Namun, total produksi seperti dibayangkan Nadya belum tercapai, sebab sejak Maret sampai sekarang kelompok petani itu baru menghasilkan 48 sabun mawar. Karena itu, Januari nanti Nadya akan mendatangkan alat produksi sabun mawar ke Ciwangun. Dana pembelian alat-alat itu ia peroleh dari hasil kemenangannya di British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) 2010. "Karena produksi belum besar maka hasilnya belum dipasarkan. Sebagian besar hanya dibagikan ke hotel dan salon sebagai contoh sebelum benar-benar dijual," ujarnya.Untuk mempercantik bentuk sabun, Nadya juga bekerjasama dengan temannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB untuk merancang cetakan sabun. Ia berharap bentuk sabun mawarnya nanti melengkung sehingga lebih artistik. Selain itu, tahun depan Nadya juga berencana menambah jumlah kelompok binaan menjadi tiga kelompok.Selain sabun padat, Nadya juga ingin memproduksi sampo dan sabun cair. Ia berharap, setelah semua rencananya berhasil, seluruh petani di Desa Cimangun memiliki penghasilan cukup untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News