KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga minyak masih dalam tren penurunan, seiring kondisi pasar global yang cenderung
wait and see menanti kepastian negosiasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Berdasarkan data
Bloomberg Kamis (9/5) 16:54 WIB harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni 2019 di New York Mercantile Exchange berada di US$ 61,81 per barel, atau terkoreksi sebanyak 0,50%. Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf mengatakan, ketika negosiasi yang ditunggu-tunggu Jumat (10/5) nanti tidak menghasilkan kata sepakat, maka harga minyak berpotensi untuk anjlok ke bawah US$ 60 per barel.
"Perang dagang semakin nyata, sehingga dampaknya juga ke harga minyak," kata Deddy kepada Kontan, Kamis (9/5). Adapun kabar mengenai persediaan minyak AS yang sempat turun, hanya berdampak sementara pada kenaikan harga minyak. Sedangkan secara garis besar, belum ada sentimen yang cukup kuat untuk membawa harga minyak naik banyak. Meskipun perlu diakui, sentimen geopolitik terkait impor minyak dari Iran bisa memberikan sedikit sentimen positif, sehingga mendorong harga minyak global kembali naik. Namun, perlu diingat juga bahwa Juni 2019, Rusia memiliki rencana untuk menaikkan produksinya. "Saat ini, harga minyak masih berpotensi menguat. Tapi kalau jangka panjang ada hal-hal yang tidak diinginkan seperti hasil perang dagang, harga minyak bisa menyentuh level US$ 58 per barel pekan depan," ujarnya. Sebagaimana diketahui, delegasi China tengah menuju Washington untuk melanjutkan negosiasi perang dagang antara kedua negara tersebut, yang puncaknya dilakukan Jumat (10/5) waktu setempat. Namun, kabar terbaru menyebutkan bahwa pihak China memberikan dokumen kepada AS yang isinya cenderung membalikkan tuntutan inti AS. Berdasarkan sumber
Reuters, dari tujuh bab rancangan perjanjian dagang, China telah menghapus komitmennya untuk mengubah UU untuk menyelesaikan keluhan inti yang menyebabkan A melancarkan perang dagang, yakni: pencurian kekayaan intelektual AS dan rahasia dagang, transfer teknologi paksa, kebijakan persaingan, akses layanan keuangan dan manipulasi mata uang. Hal tersebut, tentunya membuat geram Presiden AS Donald Trump yang akhirnya melontarkan ancaman bakal menaikkan bea impor barang-barang China dari 10% menjadi 25%. Ancaman tersebut, akan dipastikan pada pertemuan Jumat (10/5) nanti.
Secara teknikal, Deddy melihat berbagai indikator harga minyak cenderung mencerminkan potensi penurunan harga yang masih akan berlanjut. Dilihat dari MA50, MA 100, dan MA200 menunjukkan masih ada peluang bagi harga minyak menguat, namun dilihat dari
Stochastic yang berada di area 21 kecenderungannya melemah. Adapun untuk indikator RSI di area 43 menunjukkan potensi harga minyak melemah, begitu juga dengan MACD yang berada di area negatif, sehingga peluang untuk pelemahan juga terbuka. "Dengan kondisi ini, dapat saja harga minyak besok melemah dengan rentang harga US$ 60,00 per barel hingga US$ 62,50 per barel. Sedangkan untuk sepekan di level US$ 60 per barel hingga US$ 63 per barel," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi