KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis nilai tukar dan utang yang mendera Turki mulai berdampak negatif terhadap pasar obligasi Indonesia. Akibatnya,
yield surat utang negara (SUN) seri acuan 10 tahun melesat ke level tertinggi sejak Maret 2017 di 7,89%. Serupa, harga SUN acuan pun terkoreksi ke 88,08, yang juga merupakan level terendah sejak Maret 2017. Analis
Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menjelaskan, pasar obligasi dalam negeri koreksi akibat pelemahan rupiah yang ditimbulkan oleh ambruknya nilai tukar lira Turki terhadap dollar Amerika Serikat. Kemarin, rupiah melemah 0,90% ke level Rp 14.608 per dollar AS. Pelemahan ini juga menyeret kinerja obligasi dalam negeri. Padahal, Jumat (10/8) lalu,
yield SUN 10 tahun masih berada di level 7,65%. Kondisi makroekonomi Indonesia masih cukup baik. Namun, karena rupiah terpapar krisis keuangan di Turki, pasar obligasi Indonesia juga terkena imbasnya, ungkap Made, Senin (13/8).
Pelemahan rupiah juga membuat investor asing rentan melakukan aksi jual di pasar obligasi domestik. Sebab, investor asing enggan mengambil risiko berinvestasi di negara
emerging market jika dihadapkan pada kondisi seperti saat ini. Investor asing pun cenderung memburu aset
safe haven. Permintaan terhadap surat utang AS lantas meningkat. Inilah yang membuat
yield US Treasury masih bergerak stabil di kisaran 2,86%. Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail sependapat. Menurut dia, dana investor asing berpotensi besar keluar dari pasar obligasi Indonesia secara jangka pendek. Terlebih lagi, data defisit transaksi berjalan Indonesia di kuartal dua cukup mengkhawatirkan karena melebar jadi 3% dari produk domestik bruto (PDB). Investor asing menilai data tersebut membuat risiko di Indonesia cukup tinggi, jelas dia.
Research Analyst Capital Asset Management Desmon Silitonga menambahkan, pasar obligasi dalam negeri masih berpotensi koreksi sepanjang bulan ini. Sebab, krisis keuangan Turki menambah deretan sentimen negatif dari eksternal yang menghantam pasar obligasi Indonesia. Sebelumnya, pasar obligasi sudah tertekan kenaikan suku bunga acuan AS dan perang dagang antara AS dan China. Ia menilai, jika Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 14–15 Agustus, hal ini bakal menambah tekanan pada SUN dalam jangka pendek. Terlepas dari itu, Mikail optimistis, dampak krisis keuangan Turki terhadap pasar obligasi Indonesia cuma sementara. Mengingat fundamental ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Turki. Dari segi peringkat utang, misalnya, Indonesia lebih unggul karena memiliki peringkat BBB- dari lembaga pemeringkat dunia seperti Standard & Poor's (S&P). Sementara Turki hanya dilabeli BB-. Defisit transaksi berjalan Indonesia juga masih terjaga di level 3%. Angka ini lebih baik ketimbang Turki yang mencapai 5,5% di Juni lalu. Selain itu, inflasi di Turki sudah menembus angka dua digit, jauh lebih tinggi dari Indonesia yang di kisaran 3%.
Dengan hasil tersebut, pasar obligasi Indonesia seharusnya tetap menarik di mata investor asing. Ini didukung pula oleh fakta bahwa
yield SUN 10 tahun sudah di level 7,89%, sehingga
spread dengan
yield US Treasury di tenor yang sama sudah cukup lebar. Untuk beberapa waktu ke depan investor asing berpeluang masuk kembali ke pasar obligasi dalam negeri, tutur Mikail. Made juga berpendapat,
real interest rate Indonesia masih menarik berkat selisih antara
yield SUN dengan inflasi yang besar. Jika mampu diimbangi oleh perbaikan nilai tukar rupiah, investasi di pasar obligasi Indonesia akan kembali menguntungkan bagi tiap investor. Ia memperkirakan, jika rupiah tetap bertahan di Rp 14.600,
yield SUN acuan berpotensi bergerak di 7,6%–7,7%. Namun, jika rupiah melemah hingga Rp 14.700 dan diikuti kenaikan
yield US Treasury, maka
yield SUN bisa melambung sekitar level 8,10%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia