JAKARTA. Aturan transaksi wajib rupiah oleh Bank Indonesia di tengah penguatan dollar Amerika Serikat menuai banyak kritik daripelaku usaha. Namun tidak demikian dengan manejemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Garuda Indonesia bilang tak menghadapi masalah dengan aturan itu. Sebab, maskapai penerbanagan pelat merah ini telah mempersiapkan diri menghadapi pelemahan rupiah. "Terlihat, kan, enggak dengar keluhan dari Garuda, karena penggunaan rupiah memang lebih baik," ujar Askhara Danadiputra, Direktur Keuangan Garuda Indonesia kepada KONTAN, (28/8).
Malah, dengan transaksi menggunakan rupiah, perusahaan lebih mudah meningkatkan efisiensi usaha. Jika digabungkan dengan kebijakan efisiensi yang lain, hasilnya cukup lumayan. Hingga Juli lalu, manajemen mampu melakukan efisiensi hingga US$ 92 juta. Kebetulan, harga minyak dunia juga sedang turun yang juga mempengaruhi harga avtur. Sehingga, efisiensi pembelian bahan bakar juga bisa dilakukan. Hal ini terlihat dari pengeluaran operasional penerbangan semester I lalu yang turun menjadi US$ 1,06 miliar dari sebelumnya US$ 1,19 miliar. Namun, penurunan ini tentunya bersifat sementara, dan sewaktu-waktu bisa kembali
rebound. Sehingga, manajemen tak bisa selamanya mengandalkan hal ini. Sehingga, efisiensi melalui penghematan non operasional penerbangan dalam pos bahan bakar bersifat tentatif. Hingga akhir tahun, manajemen bakal memaksimalkan efisiensi non-bahan bakar. Penggunaan rupiah sudah masuk dalam daftar efisiensi. Kebijakan efisiensi lain akan dilakukan untuk beberapa pos pengeluatan lain, seperti tiket penjualan dan promosi, bandara, pelayanan penumpang dan beberapa pos lain juga akan diefisiensikan. "Jadi, hingga akhir tahun nanti kami menargetkan mampu melakukan efisiensi
cost hingga US$ 200 juta," tandas pria yang akrab disapa Ari ini. Manajemen optimistis bisnisnya tahun ini bakal lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Eksposur terhadap pelemahan rupiah sudah bisa mulai dikurangi melalui hedging tersebut. Namun, masih ada satu hal yang menjadi ganjalan, yakni dengan rute penetbangan ke Amsterdam. Rute tersebut menggunakan pesawat berbadan lebar, Boeing 777. Sayangnya, aspal landasan Bandara Soetta tidak mampu menahan beban pesawat tersebut jika bangku penumpangnya dalam keadaan terisi penuh. Padahal, yang paling ideal itu jika tingkat keterisian penumpang atau load factor pesawat 100%.
Ari bilang, untuk mensiasati hal ini pesawat yang melayani rute tersebut transit di Singapura dengan tangki seperempat. Lalu, di Singapura bahan bakarnya diisi penuh, untuk kemudian melakukan penerbangan menunu Amsterdam. Siasat ini cukup membuahkan hasil. Meski masih nombok karena
load factor-nya belum penih, tapi sudah cukup membuahkan hasil. "Tahun lalu merugi, tapi tahun ini sudah membaik. Tinggal menunggu perbaikan aspal itu saja. AP II bilang sih targetnya selesai tahun ini, atau sekenario terburuknya Maret," tutur Ari. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri