KONTAN.CO.ID - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kembali diterpa isu tak sedap. Sebelumnya, maskapai penerbangan nasional tertua di tanah air itu terjerat skandal rekayasa laporan keuangan perseroan. Pada 24 April 2019, Garuda membukukan laba bersih perseroan sebesar US$ 5,01 juta atau sekitar Rp 11,3 miliar. Namun Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), dan dua komisaris GIAA menolak menandatangani laporan keuangan tersebut. Karena seharusnya perseroan melaporkan rugi sebesar US$ 244,95 juta. Imbasnya, pada 25 April 2019, saham GIAA sempat terkoreksi sebesar 4,4%. Sementara itu, pada Juni 2019 Kementerian Keuangan mensinyalir ada pelanggaran dalam laporan keuangan Garuda. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa laporan keuangan Garuda direkayasa.
Buntut dari temuan kedua lembaga tersebut, pada 26 Juli 2019 GIAA merevisi laporan keuangan periode 2018 menjadi rugi sebesar Rp 2,4 triliun. Kerugian Garuda akibat skandal tersebut, masih diperparah lagi dengan bisnis travel penerbangan yang tidak menguntungkan akibat pembatasan aktivitas sosial masyarakat di masa pandemi Covid-19. Kapasitas penerbangan Garuda menurun drastis, yakni tinggal 15%, meskipun sempat naik 32%. GIAA hanya mampu menerbangkan sebanyak 100 pesawat dari 200 pesawat yang tersedia. Sehingga terdapat kapasitas produksi menganggur sebesar 50%. Tingginya biaya perawatan pesawat akibat menganggur tidak bisa terbang turut menekan kondisi likuiditas Garuda. Selain itu, pembatalan pemberangkatan haji 2020 dan 2021 juga menyumbang anjloknya pendapatan perseroan. Sehingga kini tak dapat dihindari, pendapatan Garuda turut tergerus, bahkan menderita kerugian sangat besar pada periode 2020, dan tahun berjalan (2021) Selain itu, pada Mei 2021 GIAA hanya mampu membukukan pendapatan operasional sebesar US$ 56 juta. Padahal diperiode yang sama Garuda harus membayar berbagai biaya, antara lain: sewa pesawat sebesar US$ 56 juta; perawatan pesawat sebesar US$ 20 juta; membeli bahan bakar avtur sebesar US$ 20 juta dan gaji pegawai sebesar US$ 20 juta. Kondisi keuangan tersebut mengonfirmasikan bahwa kinerja keuangan perseroan dalam keadaan tidak sehat, bahkan sakit parah. Hal ini diakui sendiri oleh direksi GIAA, bahwa keuangan perseroan dalam keadaan berdarah-darah. Sebab, pendapatan operasional tidak mampu lagi menutup biaya operasional yang terus membengkak pada periode 2020/2021. Kondisi ini masih diperburuk lagi dengan struktur modal
(leverage) perseroan yang tidak wajar. Pendapatan operasional GIAA tahun ini diperkirakan sulit mencapai US$ 200 juta - US$ 250 juta. Padahal utang perusahaan ini telah menembus US$ 4,5 miliar, atau setara dengan Rp 70 triliun. Sementara itu, rasio utang yang dinilai aman adalah 6 kali dari pendapatan operasional, yakni sekitar US$ 1,5 miliar. Berdasarkan berbagai literatur keuangan (empiris), jika rasio utang terhadap ekuitas atau pendapatan lebih dari 50%, maka menjadi alarm bakal terjadinya kesulitan keuangan
(financial distress). Bahkan, jika tidak segera ditangani, perusahaan bisa saja dilikuidasi, dan secara nyata bisa mengalami kebangkrutan. Apalagi GIAA memiliki kas negatif, dan ekuitas minus Rp 41 triliun. Hal ini serupa dengan kasus kebangkrutan yang dialami perusahaan swasta nasional besar seperti, PT Nyonya Meneer, PT Sariwangi, 7-Eleven, dan lainnya.
Penyelematan Garuda Untuk mengurangi beban utang yang semakin dalam, manajemen Garuda terpaksa mengambil kebijakan tidak populer bagi ribuan karyawannya. Karena itu perusahaan ini memberlakukan pensiun dipercepat per-1 Juli 2021 nanti. Istilah pensiun dipercepat sejatinya untuk menghindari diksi PHK yang dinilai kurang humanis, karena menjadi momok bagi pegawai perseroan. Langkah penyelamatan Garuda tentu tidak cukup berhenti pada perampingan pegawai
(downsizing). Namun dibutuhkan skema penyelamatan lain yang lebih efektif, sehingga pasca-pandemi diharapkan Garuda mampu
take-off dari landasan darurat likuiditas. Oleh karenanya, diperlukan identifikasi masalah utama yang membelit keuangan Garuda. Setidaknya terdapat tiga masalah yang menyebabkan perseroan ini mengalami kesulitan likuiditas.
Pertama, merosotnya permintaan jasa penerbangan akibat pandemi Covid-19. Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan volume penumpang Garuda adalah membuka rute baru, dan memangkas rute lama yang tidak efisien. Serta mengoptimalkan setiap rute penerbangan. Menurut Kementerian BUMN, sebagian besar penumpang
(traveler) Garuda adalah perjalanan antar-daerah dan pulau, yakni mencapai 78%. Sedangkan penumpang tujuan luar negara hanya mencapai kisaran 22%. Jadi, rute antar-daerah dan pulau lebih
profitable dibandingkan dengan tujuan ke luar negara. Oleh karenanya, cukup beralasan jika ada usulan Garuda fokus menggarap antar-daerah serta pulau saja. Persoalannya apakah Garuda mendapatkan prioritas, dan difasilitasi pemerintah untuk membuka rute daerah dan pulau baru. Serta tidak dikalahkan maskapai penerbangan swasta besar sebagai pesaing?
Kedua, beban utang perseroan yang terlalu berat. Lonjakan utang dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun dalam waktu setahun, sangat membebani arus kas
(cashflow) perseroan. Apalagi (jika) sebagian besar utang jangka pendek, karena perseroan harus membayar pokok utang dan bunga yang sangat besar setiap periodik. Restrukturisasi secara menyeluruh nampaknya menjadi solusi yang terbaik untuk normalisasi struktur modal perseroan, yakni menurunkan utang dari US$ 4,5 miliar menjadi US$ 1,5 miliar. Restrukturisasi utang harus melibatkan seluruh
lender, lessor (penyewa pesawat), pemegang saham, dan pemegang sukuk global. Alternatif lain, perseroan menerbitkan saham baru melalui aksi korporasi
right issue. Sementara pemerintah memborong saham tersebut. Sehingga, ekuitas perseroan meningkat, dan proporsi kepemilikan saham pemerintah bertambah besar.
Ketiga, perseroan kerap kali mengalami kerugian besar. Laporan keuangan Garuda beberapa periode mencatatkan kerugian, antara lain periode 2014, 2017 dan 2018. Hal ini terjadi lantaran biaya operasinya tiba-tiba membengkak, sementara pendapatan operasionalnya anjlok. Oleh karenanya, maka perseroan harus bisa melakukan efisiensi biaya yang ada, terutama memangkas pengeluaran biaya siluman yang tidak jelas peruntukannya. Penulis : Imron Rosyadi Lektor Kepala Teori Keuangan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti