Dari seabrek musisi kenamaan dunia, kelihaian John Denver dalam mencipta lirik, menurut penulis, merupakan salah satu yang mencorong. Dia beberapa kali mencetak
hit sebelum kemudian berpulang di tengah melakukan sesuatu yang sangat dia sukai, terbang. Ya, Denver kecil memang bercita-cita sebagai pilot dan dia meninggal karena pesawat yang dia kemudi mengalami kecelakaan tahun 1997. Tidaklah sulit mencari benang merah di antara lagu-lagu Denver semisal
Leaving On A Jet Plane, Country Roads, The Eagle And The Hawk, Sweet Surrender yang menyiratkan kecintaan Denver terhadap dunia aviasi dan juga kampung halaman. Dua hal yang sejatinya saling terhubung mengingat luasnya daratan Amerika Serikat (AS) sehingga jasa angkatan udara merupakan pilihan utama di tengah jadwal Denver yang sangat ketat. Secara kontekstual, dunia penerbangan Indonesia yang selama ini menjadi primadona konektivitas, sekarang tengah mengalami guncangan dari sisi tata kelola. Imbasnya, para penumpang pun meradang.
Kenaikan harga tiket pesawat sebenarnya bermula sejak tahun lalu, tepatnya pada bulan Oktober tahun 2018. Di tengah gempuran maha dahsyat terhadap rupiah, ongkos operasional jasa angkutan udara terkena imbas yang cukup signifikan. Secara rata-rata, ongkos pesawat naik di rentang 40% hingga 120%. Namun, di tengah tekanan terhadap rupiah yang sudah mulai reda, ongkos tiket pesawat tak kunjung turun signifikan. Ibarat hukum inersia dalam ilmu fisika, tarif pesawat terbawa sifat benda yang menolak perubahan posisi karena terpengaruh daya tahan (
vis insita).
Vis insita dalam dunia aviasi Indonesia ternyata adalah manajemen keuangan Garuda Indonesia yang memburuk. Celakanya, dengan pemain terbatas, hal ini memberikan sinyal
tit for tat ke maskapai lainnya untuk melakukan hal yang serupa, yakni menahan tarif tetap tinggi. Sebagai pemimpin pasar, tindakan Garuda memberikan sinyal signifikan kepada pasar tentu tidak terlalu mengherankan. Untuk Garuda sendiri, demi menambal bocor keuangan yang cukup besar, hal ini tampak tak terelakkan. Dengan l
oad factor Garuda yang 120% untuk mencapai Break Even Point (BEP) (Rohman, 2019), Garuda memuncaki daftar maskapai udara yang paling tidak efisien. Masalahnya, pada struktur perekonomian Indonesia, jasa angkutan udara merupakan sektor yang paling penting dengan keterkaitan hulu dan hilir (
backward and forward linkage) yang tinggi. Dari perhitungan pada 17 sektor kunci dalam ekonomi yang memiliki
forward dan
backward linkage paling tinggi, jasa transportasi udara setidak-tidaknya terhubung dengan beberapa sektor yaitu angkutan jalan raya, reparasi mobil dan motor, restoran, industri sepeda motor, jasa informasi, serta jasa penunjang angkutan. Dengan demikian,
shock yang berasal dari industri ini akan berdampak signifikan kepada sektor-sektor yang lain. Tengok saja, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2019 ini yang tertambat di 5,07%, jauh di bawah konsensus para ekonom. Tarif angkutan udara bahkan menjadi komponen penyumbang inflasi yang cukup signifikan sampai bulan Februari dan Maret 2019, penanda besarnya dampak ongkos angkutan udara pada perekonomian nasional. Tak kurang dari industri kargo, restoran dan hotel serta pariwisata yang sebelumnya sudah dalam tren penurunan semakin tertekan. Padahal, sektor pariwisata dan kargo merupakan penghela perekonomian Indonesia di tengah pertumbuhan sektor industri manufaktur yang mandek. Lihat saja kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin lekat dengan tanah. Jelas perekonomian Indonesia tidak butuh hambatan lain yang tidak perlu. Jika kondisi industri manufaktur mengalami permasalahan pada struktur perekonomian yang butuh waktu untuk diurai, permasalahan industri jasa angkutan udara lebih kepada tata kelola yang buruk. Perlu liberalisasi? Lantas apa solusinya ?. Jumlah pemain yang relatif terbatas sebenarnya merupakan sebuah permasalahan besar dalam industri. Kecenderungan kartel dan
price fixing pasti akan selalu membayangi. Terhambatnya pemain-pemain baru untuk masuk sebenarnya bisa dimaklumi mengingat secara natural industri ini sangat mahal, hanya pemain bermodal besar saja yang bisa masuk persaingan. Dari sekian banyak pemain, sekarang hanya menyisakan dua grup besar saja, grup Lion dan grup Garuda Indonesia. ASEAN sejatinya sudah mengadopsi
open sky policy dalam rangka implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC) sejak tahun 2016. Dengan misi peningkatan konektivitas, kebijakan ini merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam regionalisasi ASEAN. Harapannya adalah efisiensi dan daya saing dari industri penerbangan negara anggota ASEAN akan semakin baik dan berada dalam level yang sama dengan maskapai-maskapai besar dunia. Namun demikian, kebijakan liberalisasi angkutan udara ini nampaknya masih setengah-setengah dilakukan mengingat kekhawatiran maskapai lokal terhadap persaingan yang ketat. Imbasnya, perkembangannya memang cukup tertahan. Tetapi di masa depan, tantangan di dunia aviasi regional dan global akan menjadi sebuah keniscayaan di masa mendatang, sehingga inefisiensi dan ketertutupan harus segera dituntaskan. Ke depan, liberalisasi dan peningkatan kompetisi memang merupakan salah satu jawaban meskipun bukan satu satunya jawaban. Solusi atas permasalahan jasa industri penerbangan melibatkan ekosistem penerbangan secara utuh yang sebagian besar berakar pada tata kelola. Bayangkan saja, menurut data Center for Aviation (CAPA), rute domestik Indonesia merupakan salah satu yang paling gemuk dan prospektif di dunia dengan cakupan hampir 75% dari total lalu lintas penumpang. Dengan postur besar seperti ini, sulit dibayangkan Garuda Indonesia merugi cukup besar.
Pembenahan ekosistem tentu tidak saja berfokus pada Garuda, tetapi juga pada pengelola bandara, Angkasa Pura. Jasa bandara juga merupakan salah satu komponen biaya signifikan untuk industri penerbangan. Biaya parkir maupun mendaratkan pesawat di bandara selalu menjadi keluhan para maskapai. Hal lain yang membuat tekor adalah
mismatch antara pengeluaran dan pendapatan. Pengeluaran dalam dollar Amerika Serikat (AS) sementara penerimaan dalam rupiah. Hal ini seharusnya bisa diselesaikan dengan mekanisme lindung nilai yang terarah dan tepat sasaran. Garuda sebagai pemimpin pasar industri penerbangan Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Keberhasilan Garuda akan menjadi indikator utama yang dapat mengerek indikator-indikator makro lain, semisal penciptaan lapangan kerja, inflasi terkendali, dan pertumbuhan ekonomi. Industri penerbangan yang sehat merupakan solusi atas ketimpangan antar daerah, karena koneksi jalur angkutan udara jauh lebih signifikan dampaknya terhadap pemerataan ekonomi.♦
Fithra Faisal Hastiadi Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi