Gas diekspor, ketahanan energi Indonesia lemah



JAKARTA. Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama Ali Masykur Musa menuturkan, kisruh kenaikan harga elpiji beberapa waktu lalu hanyalah gunung es dari problematika kedaulatan energi di Indonesia. Ia menengarai permasalahan energi termasuk gas masih akan panjang lagi. Pasalnya, saat ini 60% total produksi gas Indonesia suda terlanjur diekspor dengan kontrak jangka panjang."Sekarang kalau bicara konversi BBM ke BBG apakah ada pasokannya untuk public transportation dan mobil dinas. Sementara pabrik pupuk saja kekurangan pasokan gas," kata Ali di kantor PBNU, Jakarta, Selasa (14/1). Padahal, jika konversi bisa dijalankan, negara bisa melakukan penghematan subsidi hingga Rp 17,8 triliun. Oleh karena itu, Ali mendesak pemerintah agar berani melakukan renegosiasi kontrak dengan perusahaan migas asing."Suka tidak suka, kalau mau ada kedaulatan energi maka harus ada renegosiasi kontrak," ungkap peserta konvensi capres Partai Demokrat itu. Lebih lanjut dia menambahkan, pemerintah harus membuat regulasi baru pengganti UU No.22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2 yang sudah diuji materi dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Permasalahan gas, kata Ali, tidak bisa hanya diatasi dengan membenahi masalah di hilir dengan menaikkan harga elpiji. "Kalau tidak nanti sakit kronis, tapi yang diobati kulitnya aja. Sebagai BPK dan calon Presiden saya mendukung pemerintah lebih berani melakukan renegosiasi kontrak," pungkasnya. (Estu Suryowati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan