JAKARTA. Keinginan PT PLN (Persero), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk untuk membeli gas produksi lapangan Matindok dan Senoro-Toili punya PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk, mendapat tanggapan dari pemerintah.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, mengatakan, pada Kamis (20/8) dirinya akan memfasilitasi pertemuan antara pembeli dalam negeri dengan produsen gas tersebut."Dari sisi pembeli, kita ingin mengetahui keseriusan dari domestic buyers seperti pabrik pupuk, PLN dan PGN. Kalau gas ini mau masuk domestik mereka sanggup membeli atau tidak. Karena masalah harga gas itu akan merefleksikan keekonomian proyek. Kalau tidak ekonomis, ya lapangan tidak bisa dibuka," ujar Purnomo, Rabu (19/8).Purnomo mengaku, kemarin (18/8) dirinya sudah menghadap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memintanya untuk menindaklanjuti keputusan rapat di Kantor Wakil Presiden pada 3 Juni 2009, dimana dalam rapat tersebut, Pemerintah menginginkan seluruh produksi Matindok dan Senoro-Toili dijual ke pembeli dalam negeri.Namun, Purnomo berkaca saat awal pengembangan kilang Tangguh dimana waktu itu PLN sudah mendapat penawaran pertama untuk membeli gas produksi Tangguh. Tapi akhirnya tidak jadi membeli karena dianggap terlalu mahal harganya.Rencananya, Purnomo akan mempertanyakan kepada pihak Pertamina dan Medco, mengenai alternatif pencarian pendanaan pembangunan kilang. Hal ini sebagai konsekuensi dari kewajiban menjual seluruh produksi kilang ke pembeli dalam negeri."Saat ini kan rencana pembiayaan downstream (kilang) dari JBIC melalui MItsubishi Corporation. Kalau dialokasikan ke domestik mereka bisa saja tidak mau membiayai. Padahal, pendanaannya kan besar. Untuk downstreamnya saja US$ 1,8 miliar, lalu pengembangan upstream lebih dari US$ 400 juta," kata Purnomo. Selain itu, tambah Purnomo, pembiayaan tersebut ditambah lagi dengan biaya Investment During Construction (IDC) yang besarnya bisa mencapai US$ 2,5 miliaran. Itu setara Rp 25 triliun, nah pendanaannya darimana?" ujarnya, balik bertanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Gas Matindok dan Senoro Akan Dijual Ke Pembeli Lokal
JAKARTA. Keinginan PT PLN (Persero), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk untuk membeli gas produksi lapangan Matindok dan Senoro-Toili punya PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk, mendapat tanggapan dari pemerintah.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, mengatakan, pada Kamis (20/8) dirinya akan memfasilitasi pertemuan antara pembeli dalam negeri dengan produsen gas tersebut."Dari sisi pembeli, kita ingin mengetahui keseriusan dari domestic buyers seperti pabrik pupuk, PLN dan PGN. Kalau gas ini mau masuk domestik mereka sanggup membeli atau tidak. Karena masalah harga gas itu akan merefleksikan keekonomian proyek. Kalau tidak ekonomis, ya lapangan tidak bisa dibuka," ujar Purnomo, Rabu (19/8).Purnomo mengaku, kemarin (18/8) dirinya sudah menghadap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memintanya untuk menindaklanjuti keputusan rapat di Kantor Wakil Presiden pada 3 Juni 2009, dimana dalam rapat tersebut, Pemerintah menginginkan seluruh produksi Matindok dan Senoro-Toili dijual ke pembeli dalam negeri.Namun, Purnomo berkaca saat awal pengembangan kilang Tangguh dimana waktu itu PLN sudah mendapat penawaran pertama untuk membeli gas produksi Tangguh. Tapi akhirnya tidak jadi membeli karena dianggap terlalu mahal harganya.Rencananya, Purnomo akan mempertanyakan kepada pihak Pertamina dan Medco, mengenai alternatif pencarian pendanaan pembangunan kilang. Hal ini sebagai konsekuensi dari kewajiban menjual seluruh produksi kilang ke pembeli dalam negeri."Saat ini kan rencana pembiayaan downstream (kilang) dari JBIC melalui MItsubishi Corporation. Kalau dialokasikan ke domestik mereka bisa saja tidak mau membiayai. Padahal, pendanaannya kan besar. Untuk downstreamnya saja US$ 1,8 miliar, lalu pengembangan upstream lebih dari US$ 400 juta," kata Purnomo. Selain itu, tambah Purnomo, pembiayaan tersebut ditambah lagi dengan biaya Investment During Construction (IDC) yang besarnya bisa mencapai US$ 2,5 miliaran. Itu setara Rp 25 triliun, nah pendanaannya darimana?" ujarnya, balik bertanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News