Gas minim, keramik lokal stagnan



JAKARTA. Pendapatan para pengusaha keramik di dalam negeri tahun ini rupanya kurang menggembirakan. Menurut data Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), omzet penjualan para pengusaha keramik di dalam negeri hanya mencapai Rp 6,7 triliun. Dengan demikian, bila dibanding dengan penjualan di semester I-2010, pasar keramik di dalam negeri semester I-2011 ini stagnan saja.

Menurut Ketua Umum Asaki, Achmad Widjaja, kinerja keramik di semester I ini tidak menggembirakan karena dua hal. Pertama, maraknya keramik impor dari China. Dan kedua, industri keramik domestik terganggu pasokan gas yang tidak stabil. "Jadi penjualan kami pasar domestik stagnan," tutur Achmad, Senin (8/8).

Padahal Asaki akhir tahun 2010 lalu menargetkan di semester I 2011, penjualan mereka bisa mencapai Rp 8 triliun hingga Rp 10 triliun. "Ini karena kami masih menemui berbagai kendala dalam produksi, " katanya.


Achmad menuturkan banyak pabrik keramik yang tidak bisa meningkatkan utilisasi pabrik mereka hingga 100%. Rata-rata, pabrikan tersandung minimnya pasokan bahan bakar gas. "Pabrik keramik tidak bisa menambah kuota gas dari pemerintah karena pasokannya minim," katanya.

Selain itu, para produsen keramik tidak bisa menaikkan harga jual karena maraknya keramik impor dari Cina yang harganya lebih murah dari keramik lokal. Maraknya Keramik asal Negeri Panda ini menggerus pasar. "Pemerintah sama sekali tidak memproteksi impor," katanya.

Capaian semester I ini berdampak pada turunnya target penjualan hingga akhir tahun ini. Pengusaha menargetkan penjualan domestik pada akhir tahun 2011 bisa mencapai Rp 16-20 triliun. Menurut Achmad jika semester I baru mencapai Rp 6,7 triliun, target di 2011 tidak akan tercapai.

Ekspor ikut anjlok

Menurut perkiraan Achmad, total penjualan mereka tahun ini hanya akan mencapai Rp 13 triliun saja, sama dengan realisasi penjualan mereka pada tahun 2009 yang juga sebesar Rp 13 triliun saja. Padahal, total penjualan di tahun 2010 lalu mencapai angka Rp 17 triliun.

Selain penjualan domestik, penjual terparah terjadi di pasar ekspor. Semester I tahun ini pengusaha mentargetkan ekspor senilai Rp 2,8 triliun. Namun pada semester I nilai ekspor yang terealisasi hanya sebesar Rp 672 miliar atau sekitar US$ 80 juta.

Faktor penurunan ekspor karena penguatan nilai rupiah terhadap dolar. Akibatnya para pengusaha enggan mengekspor keramik. Sebab, pendapatan dari ekspor terpangkas nilai tukar uang. Tambah lagi keramik domestik kalah bersaing dengan produk keramik dari negara lain. "Jadi ekspor bukan prioritas," katanya.

President Director PT Asri Pancawarna (Indogress), Hendrata Atmoko, juga mengeluhkan kendala ini. Utilisasi pabrik Indogress hanya sebesar 75% dari kapasitas 500.000 per m3. Sedangkan kuota gas per bulan sebesar 1,6 juta metrik kaki kubik. Untuk meningkatkan utilisasi pabrik, ia perlu pasokan gas hingga sebesar 1,8 metrik kaki kubik. "Tapi kami tidak bisa menambah karena kuota terbatas," katanya.

Padahal menurut Hendrata, sebenarnya konsumsi keramik dalam negeri terus meningkat seiring pertumbuhan pasar properti. Ia melihat ada peluang meningkatkan penjualan keramik lokal kendati keramik impor marak. Ia menghitung permintaan keramik lokal tiap tahun bisa tumbuh 20%. "Sayang kami tidak bisa memenuhi kebutuhan permintaan itu," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can