Gaya hidup hijau jangan sekadar tren



Semakin banyak orang yang peduli dan menerapkan gaya hidup hijau atau green living dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini tidak lepas dari makin tumbuhnya kesadaran akan manfaat lingkungan yang sehat bagi kehidupan.

Mereka yang cinta lingkungan sadar bahwa pola perilaku manusia merupakan salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Agar lingkungan tetap bersih dan nyaman, tentu penting untuk menggunakan barang kebutuhan yang berasal dari bahan-bahan yang bisa merusak alam.

Menurut Suzy Hutomo, Chief Executive Officer (CEO) The Body Shop, pola hidup ramah lingkungan sudah marak diterapkan kalangan pebisnis dan anak muda di Indonesia, khususnya Jakarta, dalam 10 tahun belakangan.


Namun, kalangan yang murni environmentalist masih sedikit. "Kebanyakan masih yang tipenya lazy environmentalist," ujarnya. Lazy environmentalist merupakan tipe orang yang menerapkan green living selama tidak merepotkan. Mereka biasanya tidak terlalu memaksakan atau ngotot untuk mencari barang-barang berkategori hijau.

Kalangan ini biasanya sekadar membeli pernak-pernik atau peralatan yang terbuat dari bahan ramah lingkungan, semisal tas daur ulang. Banyak juga yang mulai membiasakan diri beraktivitas dengan sepeda ataupun dengan berjalan kaki.

Suzy bilang, kalangan ini masih sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan. Karena, pola hidup hijau yang mereka terapkan biasanya dipengaruhi komunitas tertentu. "Tapi ini sudah pertanda yang positif," tegasnya.

Sebagai mantan aktivis lingkungan, Suzy menjalankan gaya hidup hijau dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari menggunakan peralatan daur ulang, menghemat listrik, menggunakan kendaraan ramah lingkungan, hingga mengurangi konsumsi barang.

Tidak harus mahal

Suzy berkata, menjalankan pola hidup hijau belum tentu mahal. Memang ada pula barang ramah lingkungan yang harus didatangkan dari luar negeri. Tapi ada juga cara mudah dan murah cocok untuk siapa pun. Misalnya, memilih membeli pakaian dengan mementingkan kualitas ketimbang kuantitas.

Menurut Suzy, lebih baik membeli satu baju seharga Rp 200.000 dibandingkan dengan beli tiga baju seharga Rp 50.000 per potong. Mengurangi jumlah pakaian akan memangkas air dan detergen yang dibutuhkan saat mencuci.

Adapun Raden Rizki Mulyawan alias Dik Doank mengungkapkan, kesadaran cinta lingkungan harus ditanamkan sejak dini. Hal inilah yang mendasarinya mendirikan sekolah alam Kandank Jurank Doank pada tahun 1993. "Dengan mendekatkan diri kepada alam, anak-anak akan belajar menghargai lingkungan," ujarnya.

Dik Doang optimistis, dengan penanaman kesadaran yang rutin sejak dini akan makin banyak generasi muda yang berpola hidup hijau, tidak sekadar ikut-ikutan tren. "Menjalankan hidup hijau juga tidak harus mahal, yang penting menggunakan metode 3 R: reuse, reduce, and recycle," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Catur Ari