KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian berencana mencabut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Rencana pencabutan Permenperin ini bertujuan untuk merelaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor kelistrikan untuk menarik investasi proyek energi baru terbarukan (EBT). Maklum saja, realisasi investasi EBT di Tanah Air masih stagnan. Stagnasi kinerja investasi di sektor EBT ini sudah terjadi sejak 2021. Pada tahun tersebut, realisasi investasi sektor EBT tercatat US$ 1,55 miliar. Pada 2023 lalu, realisasinya US$ 1,48 miliar. Angka tersebut bahkan hanya 33,6% dari target yang dipatok pada tahun lalu sebesar US$ 4,39 miliar. Pada tahun ini Kementerian ESDM menargetkan investasi EBT dapat mencapai US$ 2,6 miliar.
Baca Juga: PLN Gandeng Ditjen Gatrik Kendalikan Perubahan Iklim di Subsektor Pembangkit Listrik Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pencabutan aturan tersebut sebagai tindak lanjut rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. "Setelah kami pertimbangkan lebih lanjut, Permenperin 54 Tahun 2012 akan kami cabut," tulis Agus dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (15/5). Agus menerangkan salah satu penyebab Permen tersebut dicabut lantaran substansi pengaturan dalam Permenperin tersebut lebih terkait pada pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang menjadi kewenanganan kementerian yang menangani urusan energi. Selain itu, pencabutan Permenperin tersebut diperlukan untuk menghindari potensi benturan pengaturan mengenai kewajiban penggunaan produk dalam negeri yang telah diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiana Dewi mengatakan terkait pencabutan Permenperin 54/2012 telah disepakati, termasuk untuk relaksasi telah dimasukan dalam RUU EBET khusus untuk international funding dan renewable energy. Namun, Eniya menegaskan bahwa semua investasi EBET harus menerapkan penggunaan produk dalam negeri dan mendorong semua industri untuk masuk energi keberlanjutan. Hanya saja, untuk menaikkan investasi khusus international funding/hibah luar negeri diberikan relaksasi sesuai perundang-undangan. "Makanya selama ini sudah terhambat sekitar Rp 49 triliun - Rp 51 triliun untuk investasi EBT untuk pembangunan PLTS yang terhambat masuk Indonesia karena aturan TKDN," kata Eniya saat dihubungi KONTAN, Rabu (15/5). Dari investasi tersebut, kata Eniya, yang terdekat ada 5 project, 2 untuk floating solar power plant dan geothermal. "Dengan adanya pencabutan Permenperin, maka 5 project tersebut diharapkan akan langsung teralisasi sehingga investasinya menjadi bertambah," ungkap Eniya. Eniya mengakui bahwa proyek PLTS dan EBT lainnya memang terpaksa mandek lantaran polemik perrsyaratan TKDN tersebut. Aturan TKDN dari Kementerian Perindustrian menyatakan komponen dalam negeri untuk PLTS harus mencapai 60%. Namun, masih banyak komponen PLTS yang masih harus impor.
Baca Juga: Dirut PLN Indonesia Power Paparkan Strategi Dongkrak Energi Baru Terbarukan Eniya menambahkan, ketentuannya akan mengikuti ketentuan P3DN yang diatur dalam PP 29/2018 tentang Pemberdayaan Industri. Jadi, menurutnya, akan mengacu balik pada PP tersebut. "Tetap ada lokal kontennya, namun tidak perlu disebutkan dalam dokumen biding," tuturnya. Pada skenario sebelumnya berdasarkan Permenperin 54/2012 eksisting saat ini, TKDN PLTP sesuai Pasal 8 Permenperin54/2012 berlaku, sebagai berikut: 1. Kapasitas sampai dengan 5MW : 42%. 2. Kapasitas 5-10 MW : 40,45%. 3. Kapasitas 10-60 MW : 33,24%. 4. Kapasitas 60-110 MW : 29,21%. 5. Kapasitas lebih dari 110 MW : 28,95%. Sedangkan jika kembali ke PP 29/2018 maka PLTP akan menjadi 25%, ini sudah sangat memudahkan akselerasi investasi EBET. Menanggapi rencana pencabutan aturan mengenai TKDN ketenagalistrikan, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), Arthur Simatupang mengatakan, APLSI menyambut baik kebiijakan pemerintah yang mendorong penggunaan energi ramah lingkungan dan energi terbarukan yang potensi nya sangat besar dihasilkan di Indonesia "Setiap aturan dapat ditinjau sesuai dengan tuntutan industri yang semakin memprioritaskan penggunaaan energi EBT," kata Arthur kepada KONTAN, Rabu (15/5). Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menilai perlu ditekankan bahwa perubahan rencana TKDN adalah untuk mendorong kepentingan Indonesia, bukan hanya permintaan pendanaan asing. "Saat ini untuk pembangunan PLTS kita masih sangat lemah. Perlu dicatat India membangun kapasitas yang setara dengan PLTS Cirata setiap empat hari," ungkapnya kepada KONTAN, Rabu (15/5).
Menurutnya, hal ini menjadi pengingat bahwa pembangunan industri dalam negeri tidak bisa dipaksakan hanya sekadar dengan regulasi, namun harus ada kejelasan rencana proyek dan komitmen yang kuat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Riza Pasikki menyatakan bahwa asosiasi melihat investasi panas bumi berasal dari investasi asing dan sumber pembiyaannya dari luar. "Kami sebenarnya dukung lokal konten karena mutliplier effect ke Indonesia, tapi di sisi lain kami ada kendala pendanaan, untuk industri panas bumi," kata Riza kepada KONTAN, Rabu (15/5). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi